A. Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman
hayati, termasuk keanekaragaman ayam lokal. Ayam lokal diketahui mempunyai
keanekaragaman sifat genetik yang tinggi seperti warna bulu, kulit, bentuk
jengger, sifat produksi dan reproduksinya. Keanekaragaman genetik juga dapat
disebabkan oleh sistem pemeliharaan dan perkawinan yang tidak terkontrol dari
generasi ke generasi. Faktor lingkungan yang menekan juga merupakan faktor yang
menyebabkan perubahan sebagai upaya tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan
di sekitarnya.
Ciri spesifik ayam ini yaitu leher yang tidak ditumbuhi
bulu (gundul). Tidak adanya bulu di bagian leher memudahkan ayam untuk
melepaskan panas tubuh, sehingga energinya dapat digunakan untuk pembentukan
daging. Hal ini menjadi salah satu potensi ayam Legund sebagai penghasil daging
jika dikembangkan di daerah panas.
Ayam
Legund dikenal dengan beberapa nama seperti ayam Bali (Bali) (Sudiro, 1991),
ayam Ayunai (Papua) (Sulandari et al,. 2007). Diperkirakan variasi
keragaman karakteristik kualitatif dan kuantitatif ayam Legund masih tinggi.
Selain itu ayam Legund juga belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pada
umumnya.
B.
Sejarah Ayam Leher Gundul
Ayam leher gundul (legund) sebagai salah satu ayam
asli Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai unggas penghasil
daging karena dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ayam legund mampu
menampilkan pertambahan bobot badan yang lebih baik jika dibandingkan dengan
ayam buras lain (Mu’in, 1992; Sapcota et al., 2002; Pirany et al.,
2007). Kelestarian ayam buras harus dijaga baik jumlah maupun keasliannya,
sebab ini merupakan modal dalam pemuliaan ternak (Safuan, 1989). Jika ayam
buras punah baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentu sulit sekali utuk
menemukan kembali.
Ayam
lokal asli adalah varietas ayam di suatu daerah yang telah mengalami seleksi
dengan cara kawin silang atau budidaya secara khusus untuk menghasilkan turunan
dengan sifat-sifat unggul. Ayam leher
gundul ada yang berasal dari Indonesia dan adapula yang berasal dari luar
negeri. Ayam leher gundul merupakan fenomena yang terjadi pada beberapa jenis
ayam. Contoh ayam tersebut adalah ayam Bali, ayam Saigon dan ayam Ayunai.
Ayam leher gundul yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.
Contohnya ayam Ayunai berasal dari Merauke, Papua. Ayam Saigon atau ayam
Vietnam berasal dari Negara Vietnam dan ayam Bali berasal dari daerah Bali.
Ayam Saigon tidak semua gundul tetapi ada beberapa yang memiliki bulu di
lehernya.
C.
Karakteristik Ayam Legund
Menurut beberapa
ahli ayam Legund memiliki beberapa karakteristik. Ayam
Legund pada umumnya dapat dihubungkan dengan Turkens, Transvilsania, Naked Neck, Bare Neck, Hackleness dan
Rubber neck, yang seluruhnya memilki
karakteristik sifat leher gundul (Somes, 1993). Gen Na merupakan gen dominan
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bulu (lambat) pada bagian leher (Jull and
Hutt, 1949).
Touchburn et al.,
(1980) mengemukakan bahwa pengurangan bulu penutup tubuh akibat adanya gen Na
sebesar 40% pada ayam Legund komplit dominan dan 30% pada ayam Legund tidak komplit. Kondisi
tersebut dapat meningkatkan leksibilitas dalam pengaturan suhu tubuh pada suhu
lingkungan panas. Pengurangan jumlah bulu penutup tubuh pada ternak ayam
menurut Horts dan Mathur (1994) berhubungan secara langsung dengan peningkatan
suhu permukaan tubuh. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peningkatan suhu permukaan
tubuh tersebut sangat membantu proses
adaptasi terhadap cekaman panas melalui peningkatan pembuangan
panas (sensible heat loss) melalui
permukaan tubuh.
Bulu penutup tubuh (feather coverage) pada ternak unggas merupakan bahan pelindung yang
baik terhadap pengaruh lingkungan terutama pada saat temperatur rendah, tetapi akan menyulitkan atau
menghambat pembuangan panas melalui kulit pada saat temperatur lingkungan
tinggi. Namun demikian, dengan cara merentangkan sayapnya maka ayam dapat
meningkatkan pembuangan panas (Peguri dan Coon,
1993). Prinsipnya, kehilangan panas tubuh pada ternak unggas dapat
terjadi secara sensible (sensible heat
loss) melalui radiasi, konveksi, konduksi dan evaporasi, hal tersebut dipegaruhi oleh bulu penutup tubuh
sehingga efisiensi di dalam pengguanaan energi, tetapi pembuangan panas secara
evaporasi ternyata membutuhkan energi
sehingga pada gilirannya akan meningkatkan laju metabolisme.
Merat (1993)
menggolongkan gen leher gundul (Na) sebagai gen Pliotropy, yaitu gen yang
berpengaruh terhadap dua sifat atau lebih,atau karena memiliki keterkaitan
dengan gen-gen lain. Digolongkan demikian karena gen tersebut memberikan
pengaruh baik terhadap transfer atau pembuangan panas ke luar tubuh
(lingkungan) dan memperbaiki efisiensi pakan. Oleh karena itu gen tersebut
banyak manfaatnya bagi ayam petelur maupun ayam broiler dalam kaitannya dengan
pembentukan strain ayam yang cocok untuk kondisi daerah beriklim tropis.
D.
Produktivitas Ayam Legund
Telah
dikemukakan bahwa dengan berkurangnya sebagian bulu penutup tubuh pada ayam
Legund sangat membantu proses adaptasi terhadap cekaman panas melalui
peningkatan pembuangan panas (sensible
heat loss) melalui permukaan tubuh. Adanya hubungan positif antara
pengurangan bulu penutup tubuh pada ayam Legund dengan pembuangan panas berperan
terhadap metabolisme tubuh yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap sifat
produksi ayam, terutama di daerah tropis dengan kondisi panas yang ekstrim
(Sidadolog, 1991).
Dengan tujuan produksi telur di daerah bersuhu tinggi, Merat
(1993) berpendapat bahwa pemanfaatan Legund dianggap sangat penting, hal
tersebut didasarkan pada mortalitas induk ayam Legund yang lebih rendah, rata
-rata berat telur lebih tinggi, kerabang telur lebih kuat, dan masa bertelur
berlangsung lebih lama jika dibandingkan dengan ayam berbulu normal. Hasil
penelitian Cahaner et al., (1993) menunjukan bahwa gen Na berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan
produksi daging pada ayam broiler, baik yang dipelihara pada suhu normal maupun
pada suhu tinggi (320C). Pertambahan berat badan ayam Legund umur 4
sampai dengan 5 minggu pada suhu normal meningkat 4,6-10%, sedangkan pada suhu
tinggi pertambahan berat badan ayam Legund mencapai 7,1%-22,8%. Introduksi gen
Na pada ayam broiler dapat meningkatkan bobot badan ayam broiler dibandingkan
dengan bobot badan ayam broiler yang berbulu normal (Yunis dan Cahaner, 1999).
E.
Karakteristik Kualitatif Ayam Leher Gundul
Karakteristik
kualitatif adalah suatu sifat pada individu yang diklasifikasikan dalam satu
dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan itu berbeda jelas dengan satu
sama lain. Hal ini karena sifat kualitatif memiliki sifat yang jelas, terpisah
menjadi kelompok yang terputus, dipengaruhi oleh satu gen tunggal atau satu
pasang gen, perbedaan-perbedaan yang terjadi pada sifat ini hampir sepenuhnya
ditentukan oleh perbedaan genetika dan perbedaan lingkungan hanya memiliki
penngaruh kecil atau tidak ada pengaruhnya terhadap ekspresi sifat tersebut
(Warwick et al., 1995). Karakteristik
berdasarkan sifat kualitatif ini diibedakan menjadi:
1. Karakteristik
Warna Bulu
Pola warna
bulu pada ayam merupakan salah satu faktor utama yang menentukan proses
identifikasi, selain itu bentuk dan ukuran tubuh, bentuk jengger (comb) serta warna cakar (May, 1971).
Warna bulu terkait dengan pigmen melanin yang terbagi menjadi dua tipe, yaitu
eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada bulu, dan pheomelanin yang
membentuk warna merah-cokelat, salmon, dan kuning tua (Brumbaugh dan Moore, 1968). Kerja
pigmen ini diatur oleh gen I (inhibitor) sebagai gen penghambat produksi
melanin dan gen i sebagai gen pemicu produksi melanin sehingga ada dua sifat
utama pada sifat warna bulu ayam, yaitu sifat berwarna dan sifat tidak
berwarna. Warna bulu putih pada ayam yang membawa gen I (inhibitor) kadang-kadang
resesif terhadap warna bulu lain. Warna bulu ayam yang membawa gen i (gen
pembawa sifat warna) tidak selalu hitam tergantung ukuran dan pengaturan
granula pigmen ( Jull and Hutt, 1949).
2. Karakteristik
Pola Warna Bulu Primer
Distribusi
melanin pada bulu primer akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola warna
bulu primer. Pola warna ini dipengaruhi oleh faktor pendistribusian dan
penghambat distribusi eumelanin. Faktor pendistribusi eumelanin adalah lokus E
(Hutt, 1949) terdiri dari tiga alel yaitu E (hitam polos), e+ (tipe liar), dan
e (Colombian) yang telah diteliti kemudian terdiri dari delapan alel, yaitu
E>ER>eWh>e+>e>es>ebc>ey (Crawford, 1990). Menurut Smyth
(1976) kerja alel dari lokus E ini biasanya juga dibatasi oleh beberapa alel
yang bersifat menghambat distribusi eumelanin pada bulu primer, yaitu alel Db
(dark brown), Co (colombian), dan Mh (mahogany). Kerja ketiga
alel ini akan berpengaruh bila berinteraksi dengan lokus E pada bagian
punggung, sayap, kaki, dan bulu ekor.
3. Karakteristik
Pola Warna Bulu Sekunder (Corak Bulu)
Distribusi
melanin pada bulu sekunder akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola bulu
sekunder atau istilah lainnya adalah corak bulu. Corak bulu pada ayam ada dua
jenis corak, yaitu lurik/burik (barred) dilambangkan oleh gen B dan tidak lurik
(non barred) dilambangkan oleh gen b. Gen pembawa sifat corak bulu ini terpaut
kelamin. Kerja gen B ini adalah menghambat deposisi melanin dan akan
menimbulkan garis-garis pada warna dasar hitam sehingga bulu terlihat hitam
bergaris-garis putih (Hutt, 1949).
4. Karakteristik
Kerlip Bulu
Warna kilap
pada lapisan bulu utama dinamakan kerlip bulu yang terdiri dari kerlip perak
(silver dan dilambangkan dengan gen S) dan emas (dilambangkan dengan gen s).
Kerlip bulu ditemukan pada ayam, baik yang berbulu hitam polos maupun yang
berbulu putih, namun kurang terlihat pada ayam yang memiliki gen autosomal
merah atau yang memiliki bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat
kompleks. Gen pembawa sifat kerlip bulu ini terdapat pada kromosom kelamin
(Hutt, 1949)
5. Karakteristik
Warna Shank
Warna shank merupakan penampakan dari adanya
beberapa pigmen tertentu pada epidermis dan dermis (Jull, 1951). Warna Shank ada yang putih/kuning (Id), hitam
(id) atau kehijauan (Mansjoer et al., 1989).
Warna kuning pada shank, pada ayam
bangsa Amerika dan bangsa-bangsa yang lain, adalah karena adanya lemak atau
pigmen lipokrom (lypocrome) pada
lapisan epidermis, sedangkan pigmen hitam atau melanin tidak terdapat pada
epidermis dan dermis. Shank yang
berwarna hitam disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis. Shank warna putih, pada beberapa ayam
bangsa Inggris muncul karena tidak adanya kedua pigmen tersebut pada epidermis
maupun pada dermis.
Shank biru (cerah dan gelap) pada bangsa ayam kulit putih
didapatkan karena adanya pigmen melanin pada dermis, tetapi melanin dan
lipokrom tidak terdapat pada epidermis. Adanya pigmen lipokrom pada epidermis
dan pigmen melanin pada dermis menyebabkan shank
warna hijau (Jull, 1951). Perubahan warna shank kuning pada ayam betina dapat
digunakan untuk memperkirakan tingkat
produksi telur yang akan dihasilkan. Pigmen lipokrom yang terdapat pada shank sama dengan pigmen kuning yang
terdapat pada telur, sehingga warna shank dapat dijadikan indikasi tingkat
produksi telur seekor ayam. Faktor tersebut (warna kuning pada shank) bisa digunakan dalam proses
pengafkiran ayam petelur (Jull, 1951). Adanya gen B pada ayam akan dapat
mengurangi jumlah pigmen melanin pada shank (Hutt, 1949).
6. Karakteristik
Bentuk Jengger
Jengger
merupakan bentuk modifikasi dari kulit yang terdapat pada bagian puncak kepala.
Biasanya berwarna merah dan mempunyai bentuk yang beragam, yaitu bentuk jengger
tunggal, ros, kapri, cushion, buttercup,
bentuk arbei atau bentuk V (Ensminger, 1992). Menurut Jull (1951), jengger,
pial (wattle), dan cuping (earlobe) merupakan perkembangan dari
dermis yang tertutup oleh lapisan epidermis. Jengger juga merupakan bagian
tubuh unggas yang membedakannya dengan bangsa burung yang lain. Jengger ros
(R_) bersifat dominan terhadap jengger tunggal (rr) dan jengger kapri (P_) juga
bersifat dominan terhadap jengger tunggal. Gen ros (R_) dan kapri (P_) bertemu
maka akan terbentuk jengger walnut (R_P_) yang dominan terhadap jengger ros,
kapri, dan tunggal.
7. Karakteristik
Warna Cuping
Menurut
Crawford (1990), sebagian besar breed ayam mempunyai cuping berwarna merah
meskipun breed dari kelas Mediteranian yang meliputi Leghorn, Minorca, dan
Spanish mempunyai warna cuping putih. Ayam hutan merah ditemukan campuran
antara warna cuping merah dan putih dengan warna cuping merah lebih dominan.
8. Karakteristik
Warna Mata
Menurut
Crawford (1990), semua ayam kecuali golongan albino mempunyai warna mata gelap
pada saat menetas. Warna mata sesungguhnya belum dapat dilihat sampai dewasa
kelamin ketika pigmen melanin dan karoten diekspresikan secara penuh.
Penelitian dilakukan dengan menyilangkan antara breed ayam bermata cokelat bulu hitam dan mata bay pembatas warna bulu hitam yang
secara tidak sadar didapatkan hubungan antara warna yang mengandung melanin dan
warna mata gelap.
F.
Karakteristik Kuantitatif Ayam Leher Gundul
Karakteristik
kuantitatif yang penting adalah yang ada hubungannya dengan produksi, misalnya
bobot badan, bobot tetas, produksi telur dan umur bertelur pertama.
Karakteristik kuantitatif selain dipengaruhi oleh genotipnya juga dipengaruhi
oleh lingkungan, serta interaksi antar genotip dan lingkungan. Beberapa
karakteristik kuantitatif yang bernilai ekonomis adalah bobot badan, panjang
paha (femur), panjang betis (tibia),panjang cakar (shank, tarsometatarsus) dan lingkar
cakar. Karakteristik tersebut dapat dijadikan
parameter-parameter pertumbuhan (Mansjoer,
1985).
Menurut
Warwick et al., (1995), karakteristik
kuantitatif penting artinya dalam bidang peternakan dan sangat dipengaruhi oleh
perbedaan lingkungan. Beberapa karakteristik kuantitatif yang berhubungan
dengan produktivitas unggas menurut Mansjoer (1981) diantaranya:
1. Panjang shank dan panjang tibia, dapat dijadikan penduga untuk mengukur pertumbuhan, sebab
bentuk tulang yang besar menunjukkan pertumbuhan yang besar.
2. Panjang femur dan panjang dada merupakan tempat
perletakan daging yang banyak, demikian juga panjang tibia merupakan tempat
perletakan daging, sehingga perkembangan dari tulang paha, tulang dada dan
tulang betis ini akan menunjukkan produksi daging.
3. Lingkar tarso metatarsus merupakan keliling dari
shank, dapat dijadikan patokan untuk
mengetahui bentuk kerampingan dari shank.
Bentuk dari kaki menunjukkan kemampuan dari kaki untuk dapat menunjang bobot
badan, sedangkan kemampuan ayam untuk memproduksi daging ditunjukkan oleh bobot
badan. Berdasarkan hal ini lingkar tarso
metatarsus dapat dijadikan suatu petunjuk untuk mengetahui kemampuan
memproduksi daging dari bobot badan, dengan semakin besarnya bobot badan, maka
produksi daging akan semakin bertambah, sehingga ini bisa dijadikan suatu
kriteria pengukuran dari produksi daging yang dihasilkan.
Menurut
Mansjoer (1985), karakteristik kuantitatif ayam kampung antara lain:
1. Rataan bobot
badan ayam jantan umur lima bulan 1,122 kg dan betina 0,916 kg.
2. Rataan
produksi telur 11,29 butir per periode bertelur, dengan jarak antar periode
bertelur sekitar tiga bulan.
3. Bertelur
pertama pada umur 6,37 bulan dengan rataan bobot telur seberat 41,6 per butir.
4. Daya tetas
telur sebesar 84,6% dan jumlah telur yang ditetaskan sebanyak 58,6%.
G.
Contoh Ayam Leher Gundul
1. Ayam Ayunai
Ayam Ayunai adalah
unggas lokal berukuran sedang dari Merauke, Papua. Keunikan ayam ini terletak
pada absennya bulu dari kepala hingga bagian atas tembolok sehingga leher
tampak polos alias gundul. Berat tubuh ayam jantan dewasa berkisar 3,4-4 kg dan
ayam betina berkisar 1,5-2
kg.
Produksi telur 10-14 butir per periode
peneluran. Dalam satu tahun produksi telur sebanyak 40-60 butir. Bobot telur 60-75 g. Prosentase karkas 75-80%. Umur siap kawin 8 bulan
(jantan) dan 7 bulan (betina). Umur mulai fase produksi 6 bulan, lama produksi
bertelur 30 bulan. Jarak antara masa bertelur 10─14 hari. Masa rontok bulu antar masa bertelur 6 minggu.
Dilihat dari produksi telur dan bobotnya, Ayam Ayunai sangat cocok
dibudidayakan sebagai ayam petelur serta sebagai ayam pedaging (Diwyanto dan Prijono,
2007).
2.
Ayam Bali
Sesuai dengan namanya, ayam
ini tersebar di Pulau Bali. Pejantan dipelihara sebagai ayam petarung. Penampilan
fisiknya tergolong prima, yakni besar, padat dan jika berdiri tegak membentuk
sudut 60O, bagian lehernya agak pendek dan kepalanya sedikit kecil.
Ciri unik lainnya adalah sangat sedikitnya bulu yang tumbuh di bagian leher
(trondol). Sepintas penampilan ayam gundul ini mirip ayam Ayunai atau ayam
Saigon. Dibandingkan Ayunai, Ayam Saigon memiliki struktur tulang yang lebih
tebal. Ukuran tubuhnya pun juga lebih besar. Jengger ayam Ayunai kecil dan
warnanya merah pucat. Ayam jantan dewasa berukuran sedang dengan bobot sekitar
2,5 kg. Jumlah telur rata-rata pada setiap periode bertelur dapat
mencapai 14 butir.
3. Ayam
Saigon/ Vietnam
Ayam Vietnam atau yang lebih
dikenal dengan Ayam Saigon adalah ayam aduan yang berkembang di Negara Vietnam
. Ayam aduan ini mempunyai karakteristik yang agak berbeda dengan ayam aduan
dari trah lain seperti yang umum kita jumpai seperti Ayam Bangkok. Trah Ayam
Vietnam / Saigon ini sebenarnya masuk ke Indonesia hampir bersamaan dengan
masuk Ayam Bangkok namun kepopuleran ayam ini meredup seiring dengan boomingnya
ayam bangkok yang berjaya di berbagai kalangan ayam di berbagai daerah di
Indonesia.
Adapun yang membuat Ayam
Bangkok menjadi sangat Populer adalah gaya bertarungnya yang indah dan
luwes disertai pukulan yang keras dengan di dukung kualitas tulangan yang
bagus pula sehingga mampu melibas ayam aduan trah lokal asli Indonesia.
Sedangkan di masa itu Ayam Saigon kurang diminati karena ada beberapa
kekurangan yang dimiliki antara lain Ayam Saigon dirasa masih bodoh atau kurang pandai didalam
menciptakan peluang untuk memukul, kecepatan sangat rendah atau terkesan lamban, namun Ayam
Saigon mempunyai kelebihan berupa struktur daging dengan serat otot yang jauh
lebih baik jika dibandingkan Ayam Bangkok disamping itu Ayam Saigon juga
mempunyai struktur tulang yang sangat kokoh jika dibandingkan dengan trah lain.
Ciri khas ayam bangkok Vietnam/ayam bangkok saigon antara lain:
a) Semenjak
lahir/menetas ayam saigon ini mempunyai kepala yang gundul.
b) Mempunyai bulu yang
sedikit kan tetap[i biasanya normal seperti ayam yang lainnya.
c) Sekitar leher dan
paha mempunyai bulu yang sangatlah tipis sehingga hanya terlihat kulit.
d) Mempunyai bulu rawis
yang sedikit dan kadang tidak punya sama sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Brumbaugh,
J. A. dan J. W. Moore. 1968. The effects
of E alleles upon melanocytes differentitation. Dalam: Crawford, R. D.
(Editor). Poultry Breeding and Genetics. Department of Animal and Poultry
Science. University of Saskatchewan, Sa skatoon.
Cahaner, A.,
N. Deep and M. Gotman. 1993. Effect of
the plumage-reducing naked neck (Na) gene on the performance of fast-growing
broilers at normal and high ambient temperatures. Poultry Sci. 72: 767775.
Crawford, D.
S. 1990. Poultry Breeding and Genetics.
Elsevier, Amsterdam.
Crawford, R.
D. (Editor). Poultry Breeding and
Genetics. Department of Animal and Poultry Science. University of
Saskatchewan, Saskatoon.
Diwyanto,
K dan S. N. Prijono, 2007. Keanekaragaman
Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat
Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ensminger, M.
E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Publishers, Inc. USA
Horst, P.
and P. K. Mathur. 1994. Feathering and
adaptation to tropical climates. Proc. 9th European Poultry Conference,
Agustus 7-12th., glasgow, Uk.
Hutt,
T. B. 1949. Genetics of The Fowl.
Hill Book Company, Inc., New York.
Jull, M. A.
1951. Poultry Disease. 3rd Ed. Mc Graw-Hill Book Company, Inc., New York.
Mansjoer,
I., S. S. Mansjoer dan D. Sayuthi. 1989. Studi
banding sifat-sifat biologis ayam Kampung, ayam Pelung, dan ayam Bangkok,
Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mansjoer, S.
S. 1981. Studi sifat-sifat ekonomis yang
menurun pada ayam Kampung. Laporan Penelitian No.
15/Penelitian/PUT/IPB/1979-1980. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Mansjoer, S.
S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi
ayam Kampung beserta persilangannya dengan Rhode Island Red. Disertasi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
May, C. G.
1971. British Poultry Standards. Third Ed. I Liffe Books, London.
Merat, P.
1993. Pleiotropic and associated effects
of major genes. in: Poultry Breeding and Genetics. R. D. Crawfond, ed.
Elsevier Scientific Publishers, Amsterdam. The Netherlands.
Peguri, A.
and C. Coon. 1993. Effect of feather
coverage and temperatur on Layer Performance. Poultry Sci. 72: 1318-1329
Smyth, J. R.
1976. Genetics control of melanin
pigmentation in the fowl. Dalam:
Somes, R. G.
1993. Mutations and Major Variant of
Plumage and skin in chicken. In: Poultry Breeding and Genetic. R. D.
Crawford, ed. Elsevier Scientific Publishers. Amisterdam. The Netherlands.
Touchburn,
S. P., J. Guilaume, B. Lecleicd, and J. C. Blom. 1980. Lipid and energy metabolism in chicks affected by dwarfism (dw) and
naked neck (Na) gene. Pultry Sci. 59 : 2189-2197
Warwick, E.
J., J. M. Astuti, W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan
Ternak. Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yunis. R.,
and A. Cahaner. 1999. The Effects of the
Naked Neck (Na) and Frizzel (F) genes on growth and meat yield of broilers and
their interactions with ambient temperatures and potential growth rate.
International Journal of Poultry Science 78:1347-1352.
1 comments:
Write commentsCiri Ayam Mangon Dan Kelebihan Ayam Mangon Apa ini benar ?
ReplySilahkan memberi komentar yang membangun EmoticonEmoticon