MENGENAL AYAM LEGUND (LEHER GUNDUL)

5:54 AM
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk keanekaragaman ayam lokal. Ayam lokal diketahui mempunyai keanekaragaman sifat genetik yang tinggi seperti warna bulu, kulit, bentuk jengger, sifat produksi dan reproduksinya. Keanekaragaman genetik juga dapat disebabkan oleh sistem pemeliharaan dan perkawinan yang tidak terkontrol dari generasi ke generasi. Faktor lingkungan yang menekan juga merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sebagai upaya tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Ciri spesifik ayam ini yaitu leher yang tidak ditumbuhi bulu (gundul). Tidak adanya bulu di bagian leher memudahkan ayam untuk melepaskan panas tubuh, sehingga energinya dapat digunakan untuk pembentukan daging. Hal ini menjadi salah satu potensi ayam Legund sebagai penghasil daging jika dikembangkan di daerah panas.
Ayam Legund dikenal dengan beberapa nama seperti ayam Bali (Bali) (Sudiro, 1991), ayam Ayunai (Papua) (Sulandari et al,. 2007). Diperkirakan variasi keragaman karakteristik kualitatif dan kuantitatif ayam Legund masih tinggi. Selain itu ayam Legund juga belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pada umumnya.
 
ayam legund dewasa
B. Sejarah Ayam Leher Gundul
Ayam leher gundul (legund) sebagai salah satu ayam asli Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai unggas penghasil daging karena dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ayam legund mampu menampilkan pertambahan bobot badan yang lebih baik jika dibandingkan dengan ayam buras lain (Mu’in, 1992; Sapcota et al., 2002; Pirany et al., 2007). Kelestarian ayam buras harus dijaga baik jumlah maupun keasliannya, sebab ini merupakan modal dalam pemuliaan ternak (Safuan, 1989). Jika ayam buras punah baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentu sulit sekali utuk menemukan kembali.
Ayam lokal asli adalah varietas ayam di suatu daerah yang telah mengalami seleksi dengan cara kawin silang atau budidaya secara khusus untuk menghasilkan turunan dengan sifat-sifat unggul. Ayam leher gundul ada yang berasal dari Indonesia dan adapula yang berasal dari luar negeri. Ayam leher gundul merupakan fenomena yang terjadi pada beberapa jenis ayam. Contoh ayam tersebut adalah ayam Bali, ayam Saigon dan ayam Ayunai.
Ayam leher gundul yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Contohnya ayam Ayunai berasal dari Merauke, Papua. Ayam Saigon atau ayam Vietnam berasal dari Negara Vietnam dan ayam Bali berasal dari daerah Bali. Ayam Saigon tidak semua gundul tetapi ada beberapa yang memiliki bulu di lehernya.

C. Karakteristik Ayam Legund
Menurut beberapa ahli ayam Legund memiliki beberapa karakteristik. Ayam Legund pada umumnya dapat dihubungkan dengan Turkens, Transvilsania, Naked Neck, Bare Neck, Hackleness dan Rubber neck, yang seluruhnya memilki karakteristik sifat leher gundul (Somes, 1993). Gen Na merupakan gen dominan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bulu (lambat) pada bagian leher (Jull and Hutt, 1949).
Touchburn et al., (1980) mengemukakan bahwa pengurangan bulu penutup tubuh akibat adanya gen Na sebesar 40% pada ayam Legund komplit dominan dan  30% pada ayam Legund tidak komplit. Kondisi tersebut dapat meningkatkan leksibilitas dalam pengaturan suhu tubuh pada suhu lingkungan panas. Pengurangan jumlah bulu penutup tubuh pada ternak ayam menurut Horts dan Mathur (1994) berhubungan secara langsung dengan peningkatan suhu permukaan tubuh. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peningkatan suhu permukaan tubuh tersebut sangat  membantu proses adaptasi terhadap cekaman panas melalui peningkatan pembuangan panas (sensible heat loss) melalui permukaan tubuh.
Bulu penutup tubuh (feather coverage) pada ternak unggas merupakan bahan pelindung yang baik terhadap pengaruh lingkungan terutama pada saat temperatur  rendah, tetapi akan menyulitkan atau menghambat pembuangan panas melalui kulit pada saat temperatur lingkungan tinggi. Namun demikian, dengan cara merentangkan sayapnya maka ayam dapat meningkatkan pembuangan panas (Peguri dan Coon,  1993). Prinsipnya, kehilangan panas tubuh pada ternak unggas dapat terjadi secara sensible (sensible heat loss) melalui radiasi, konveksi, konduksi dan evaporasi, hal  tersebut dipegaruhi oleh bulu penutup tubuh sehingga efisiensi di dalam pengguanaan energi, tetapi pembuangan panas secara evaporasi ternyata  membutuhkan energi sehingga pada gilirannya akan meningkatkan laju metabolisme.
Merat (1993) menggolongkan gen leher gundul (Na) sebagai gen Pliotropy,  yaitu gen yang berpengaruh terhadap dua sifat atau lebih,atau karena memiliki keterkaitan dengan gen-gen lain. Digolongkan demikian karena gen tersebut memberikan pengaruh baik terhadap transfer atau pembuangan panas ke luar tubuh (lingkungan) dan memperbaiki efisiensi pakan. Oleh karena itu gen tersebut banyak manfaatnya bagi ayam petelur maupun ayam broiler dalam kaitannya dengan pembentukan strain ayam yang cocok untuk kondisi daerah beriklim tropis.

D. Produktivitas Ayam Legund
Telah dikemukakan bahwa dengan berkurangnya sebagian bulu penutup tubuh pada ayam Legund sangat membantu proses adaptasi terhadap cekaman panas melalui peningkatan pembuangan panas (sensible heat loss) melalui permukaan tubuh. Adanya hubungan positif antara pengurangan bulu penutup tubuh pada ayam Legund dengan pembuangan panas berperan terhadap metabolisme tubuh yang pada akhirnya berpengaruh pula terhadap sifat produksi ayam, terutama di daerah tropis dengan kondisi panas yang ekstrim (Sidadolog, 1991).
Dengan tujuan produksi telur di daerah bersuhu tinggi, Merat (1993) berpendapat bahwa pemanfaatan Legund dianggap sangat penting, hal tersebut didasarkan pada mortalitas induk ayam Legund yang lebih rendah, rata -rata berat telur lebih tinggi, kerabang telur lebih kuat, dan masa bertelur berlangsung lebih lama jika dibandingkan dengan ayam berbulu normal. Hasil penelitian Cahaner et al., (1993) menunjukan bahwa gen Na berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi daging pada ayam broiler, baik yang dipelihara pada suhu normal maupun pada suhu tinggi (320C). Pertambahan berat badan ayam Legund umur 4 sampai dengan 5 minggu pada suhu normal meningkat 4,6-10%, sedangkan pada suhu tinggi pertambahan berat badan ayam Legund mencapai 7,1%-22,8%. Introduksi gen Na pada ayam broiler dapat meningkatkan bobot badan ayam broiler dibandingkan dengan bobot badan ayam broiler yang berbulu normal      (Yunis dan Cahaner, 1999).

E.  Karakteristik Kualitatif Ayam Leher Gundul
Karakteristik kualitatif adalah suatu sifat pada individu yang diklasifikasikan dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan itu berbeda jelas dengan satu sama lain. Hal ini karena sifat kualitatif memiliki sifat yang jelas, terpisah menjadi kelompok yang terputus, dipengaruhi oleh satu gen tunggal atau satu pasang gen, perbedaan-perbedaan yang terjadi pada sifat ini hampir sepenuhnya ditentukan oleh perbedaan genetika dan perbedaan lingkungan hanya memiliki penngaruh kecil atau tidak ada pengaruhnya terhadap ekspresi sifat tersebut (Warwick et al., 1995). Karakteristik berdasarkan sifat kualitatif ini diibedakan menjadi:
1.  Karakteristik Warna Bulu
Pola warna bulu pada ayam merupakan salah satu faktor utama yang menentukan proses identifikasi, selain itu bentuk dan ukuran tubuh, bentuk jengger (comb) serta warna cakar (May, 1971). Warna bulu terkait dengan pigmen melanin yang terbagi menjadi dua tipe, yaitu eumelanin yang membentuk warna hitam dan biru pada bulu, dan pheomelanin yang membentuk warna merah-cokelat, salmon, dan kuning tua         (Brumbaugh dan Moore, 1968). Kerja pigmen ini diatur oleh gen I (inhibitor) sebagai gen penghambat produksi melanin dan gen i sebagai gen pemicu produksi melanin sehingga ada dua sifat utama pada sifat warna bulu ayam, yaitu sifat berwarna dan sifat tidak berwarna. Warna bulu putih pada ayam yang membawa gen I (inhibitor) kadang-kadang resesif terhadap warna bulu lain. Warna bulu ayam yang membawa gen i (gen pembawa sifat warna) tidak selalu hitam tergantung ukuran dan pengaturan granula pigmen ( Jull and Hutt, 1949).
2.  Karakteristik Pola Warna Bulu Primer
Distribusi melanin pada bulu primer akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola warna bulu primer. Pola warna ini dipengaruhi oleh faktor pendistribusian dan penghambat distribusi eumelanin. Faktor pendistribusi eumelanin adalah lokus E (Hutt, 1949) terdiri dari tiga alel yaitu E (hitam polos), e+ (tipe liar), dan e (Colombian) yang telah diteliti kemudian terdiri dari delapan alel, yaitu E>ER>eWh>e+>e>es>ebc>ey (Crawford, 1990). Menurut Smyth (1976) kerja alel dari lokus E ini biasanya juga dibatasi oleh beberapa alel yang bersifat menghambat distribusi eumelanin pada bulu primer, yaitu alel Db (dark brown), Co  (colombian), dan Mh (mahogany). Kerja ketiga alel ini akan berpengaruh bila berinteraksi dengan lokus E pada bagian punggung, sayap, kaki, dan bulu ekor. 
3.  Karakteristik Pola Warna Bulu Sekunder (Corak Bulu)
Distribusi melanin pada bulu sekunder akan menimbulkan pola bulu yang disebut pola bulu sekunder atau istilah lainnya adalah corak bulu. Corak bulu pada ayam ada dua jenis corak, yaitu lurik/burik (barred) dilambangkan oleh gen B dan tidak lurik (non barred) dilambangkan oleh gen b. Gen pembawa sifat corak bulu ini terpaut kelamin. Kerja gen B ini adalah menghambat deposisi melanin dan akan menimbulkan garis-garis pada warna dasar hitam sehingga bulu terlihat hitam bergaris-garis putih (Hutt, 1949).
4.  Karakteristik Kerlip Bulu
Warna kilap pada lapisan bulu utama dinamakan kerlip bulu yang terdiri dari kerlip perak (silver dan dilambangkan dengan gen S) dan emas (dilambangkan dengan gen s). Kerlip bulu ditemukan pada ayam, baik yang berbulu hitam polos maupun yang berbulu putih, namun kurang terlihat pada ayam yang memiliki gen autosomal merah atau yang memiliki bulu dengan kombinasi warna yang keragamannya sangat kompleks. Gen pembawa sifat kerlip bulu ini terdapat pada kromosom kelamin (Hutt, 1949)
5.  Karakteristik Warna Shank
Warna shank merupakan penampakan dari adanya beberapa pigmen tertentu pada epidermis dan dermis (Jull, 1951). Warna Shank ada yang putih/kuning (Id), hitam (id) atau kehijauan (Mansjoer et al., 1989). Warna kuning pada shank, pada ayam bangsa Amerika dan bangsa-bangsa yang lain, adalah karena adanya lemak atau pigmen lipokrom (lypocrome) pada lapisan epidermis, sedangkan pigmen hitam atau melanin tidak terdapat pada epidermis dan dermis. Shank yang berwarna hitam disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis. Shank warna putih, pada beberapa ayam bangsa Inggris muncul karena tidak adanya kedua pigmen tersebut pada epidermis maupun pada dermis.
Shank biru (cerah dan gelap) pada bangsa ayam kulit putih didapatkan karena adanya pigmen melanin pada dermis, tetapi melanin dan lipokrom tidak terdapat pada epidermis. Adanya pigmen lipokrom pada epidermis dan pigmen melanin pada dermis menyebabkan shank warna hijau (Jull, 1951). Perubahan warna shank kuning pada ayam betina dapat digunakan untuk  memperkirakan tingkat produksi telur yang akan dihasilkan. Pigmen lipokrom yang terdapat pada shank sama dengan pigmen kuning yang terdapat pada telur, sehingga warna shank dapat dijadikan indikasi tingkat produksi telur seekor ayam. Faktor tersebut (warna kuning pada shank) bisa digunakan dalam proses pengafkiran ayam petelur (Jull, 1951). Adanya gen B pada ayam akan dapat mengurangi jumlah pigmen melanin pada shank (Hutt, 1949).
6.  Karakteristik Bentuk Jengger
Jengger merupakan bentuk modifikasi dari kulit yang terdapat pada bagian puncak kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai bentuk yang beragam, yaitu bentuk jengger tunggal, ros, kapri, cushion, buttercup, bentuk arbei atau bentuk V (Ensminger, 1992). Menurut Jull (1951), jengger, pial (wattle), dan cuping (earlobe) merupakan perkembangan dari dermis yang tertutup oleh lapisan epidermis. Jengger juga merupakan bagian tubuh unggas yang membedakannya dengan bangsa burung yang lain. Jengger ros (R_) bersifat dominan terhadap jengger tunggal (rr) dan jengger kapri (P_) juga bersifat dominan terhadap jengger tunggal. Gen ros (R_) dan kapri (P_) bertemu maka akan terbentuk jengger walnut (R_P_) yang dominan terhadap jengger ros, kapri, dan tunggal.
7.  Karakteristik Warna Cuping
Menurut Crawford (1990), sebagian besar breed ayam mempunyai cuping berwarna merah meskipun breed dari kelas Mediteranian yang meliputi Leghorn, Minorca, dan Spanish mempunyai warna cuping putih. Ayam hutan merah ditemukan campuran antara warna cuping merah dan putih dengan warna cuping merah lebih dominan.
8.  Karakteristik Warna Mata
Menurut Crawford (1990), semua ayam kecuali golongan albino mempunyai warna mata gelap pada saat menetas. Warna mata sesungguhnya belum dapat dilihat sampai dewasa kelamin ketika pigmen melanin dan karoten diekspresikan secara penuh. Penelitian dilakukan dengan menyilangkan antara breed ayam bermata cokelat bulu hitam dan mata bay pembatas warna bulu hitam yang secara tidak sadar didapatkan hubungan antara warna yang mengandung melanin dan warna mata gelap.

F.  Karakteristik Kuantitatif Ayam Leher Gundul
Karakteristik kuantitatif yang penting adalah yang ada hubungannya dengan produksi, misalnya bobot badan, bobot tetas, produksi telur dan umur bertelur pertama. Karakteristik kuantitatif selain dipengaruhi oleh genotipnya juga dipengaruhi oleh lingkungan, serta interaksi antar genotip dan lingkungan. Beberapa karakteristik kuantitatif yang bernilai ekonomis adalah bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia),panjang cakar (shank, tarsometatarsus) dan lingkar cakar. Karakteristik  tersebut dapat dijadikan parameter-parameter pertumbuhan (Mansjoer, 1985).
Menurut Warwick et al., (1995), karakteristik kuantitatif penting artinya dalam bidang peternakan dan sangat dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan. Beberapa karakteristik kuantitatif yang berhubungan dengan produktivitas unggas menurut Mansjoer (1981) diantaranya:
1.  Panjang shank dan panjang tibia, dapat dijadikan penduga untuk mengukur pertumbuhan, sebab bentuk tulang yang besar menunjukkan pertumbuhan yang besar.
2.  Panjang femur dan panjang dada merupakan tempat perletakan daging yang banyak, demikian juga panjang tibia merupakan tempat perletakan daging, sehingga perkembangan dari tulang paha, tulang dada dan tulang betis ini akan menunjukkan produksi daging.
3.  Lingkar tarso metatarsus merupakan keliling dari shank, dapat dijadikan patokan untuk mengetahui bentuk kerampingan dari shank. Bentuk dari kaki menunjukkan kemampuan dari kaki untuk dapat menunjang bobot badan, sedangkan kemampuan ayam untuk memproduksi daging ditunjukkan oleh bobot badan. Berdasarkan hal ini lingkar tarso metatarsus dapat dijadikan suatu petunjuk untuk mengetahui kemampuan memproduksi daging dari bobot badan, dengan semakin besarnya bobot badan, maka produksi daging akan semakin bertambah, sehingga ini bisa dijadikan suatu kriteria pengukuran dari produksi daging yang dihasilkan.
Menurut Mansjoer (1985), karakteristik kuantitatif ayam kampung antara lain:
1.  Rataan bobot badan ayam jantan umur lima bulan 1,122 kg dan betina 0,916 kg.
2.  Rataan produksi telur 11,29 butir per periode bertelur, dengan jarak antar periode bertelur sekitar tiga bulan.
3.  Bertelur pertama pada umur 6,37 bulan dengan rataan bobot telur seberat 41,6 per butir.
4.  Daya tetas telur sebesar 84,6% dan jumlah telur yang ditetaskan sebanyak 58,6%. 

G. Contoh Ayam Leher Gundul
1.      Ayam Ayunai
Ayam Ayunai  adalah unggas lokal berukuran sedang dari Merauke, Papua. Keunikan ayam ini terletak pada absennya bulu dari kepala hingga bagian atas tembolok sehingga leher tampak polos alias gundul. Berat tubuh ayam jantan dewasa berkisar 3,4-4 kg dan ayam betina berkisar 1,5-2 kg.
Produksi telur 10-14 butir per periode peneluran. Dalam satu tahun produksi telur sebanyak 40-60 butir. Bobot telur 60-75 g. Prosentase karkas 75-80%. Umur siap kawin 8 bulan (jantan) dan 7 bulan (betina). Umur mulai fase produksi 6 bulan, lama produksi bertelur 30 bulan. Jarak antara masa bertelur 1014 hari. Masa rontok bulu antar masa bertelur 6 minggu. Dilihat dari produksi telur dan bobotnya, Ayam Ayunai sangat cocok dibudidayakan sebagai ayam petelur serta sebagai ayam pedaging (Diwyanto dan Prijono, 2007).
2.      Ayam Bali

Sesuai dengan namanya, ayam ini tersebar di Pulau Bali. Pejantan dipelihara sebagai ayam petarung. Penampilan fisiknya tergolong prima, yakni besar, padat dan jika berdiri tegak membentuk sudut 60O, bagian lehernya agak pendek dan kepalanya sedikit kecil. Ciri unik lainnya adalah sangat sedikitnya bulu yang tumbuh di bagian leher (trondol). Sepintas penampilan ayam gundul ini mirip ayam Ayunai atau ayam Saigon. Dibandingkan Ayunai, Ayam Saigon memiliki struktur tulang yang lebih tebal. Ukuran tubuhnya pun juga lebih besar. Jengger ayam Ayunai kecil dan warnanya merah pucat. Ayam jantan dewasa berukuran sedang dengan bobot sekitar 2,5 kg. Jumlah telur rata-rata pada setiap periode bertelur  dapat mencapai 14 butir.          
3.      Ayam Saigon/ Vietnam
Ayam Vietnam atau yang lebih dikenal dengan Ayam Saigon adalah ayam aduan yang berkembang di Negara Vietnam . Ayam aduan ini mempunyai karakteristik yang agak berbeda dengan ayam aduan dari trah lain seperti yang umum kita jumpai seperti Ayam Bangkok. Trah Ayam Vietnam / Saigon ini sebenarnya masuk ke Indonesia hampir bersamaan dengan masuk Ayam Bangkok namun kepopuleran ayam ini meredup seiring dengan boomingnya ayam bangkok yang berjaya di berbagai kalangan ayam di berbagai daerah di Indonesia.
Adapun yang membuat Ayam Bangkok  menjadi sangat Populer adalah gaya bertarungnya yang indah dan luwes  disertai pukulan yang keras dengan di dukung kualitas tulangan yang bagus pula sehingga mampu melibas ayam aduan trah lokal asli Indonesia. Sedangkan di masa itu Ayam Saigon kurang diminati karena ada beberapa kekurangan yang dimiliki antara lain Ayam Saigon dirasa masih bodoh atau kurang pandai didalam menciptakan peluang untuk memukul, kecepatan sangat rendah atau terkesan lamban, namun Ayam Saigon mempunyai kelebihan berupa struktur daging dengan serat otot yang jauh lebih baik jika dibandingkan Ayam Bangkok disamping itu Ayam Saigon juga mempunyai struktur tulang yang sangat kokoh jika dibandingkan dengan trah lain.
Ciri khas ayam bangkok Vietnam/ayam bangkok saigon antara lain:
a)    Semenjak lahir/menetas ayam saigon ini mempunyai kepala yang gundul.
b)   Mempunyai bulu yang sedikit kan tetap[i biasanya normal seperti ayam yang lainnya.
c)    Sekitar leher dan paha mempunyai bulu yang sangatlah tipis sehingga hanya terlihat kulit.
d)   Mempunyai bulu rawis yang sedikit dan kadang tidak punya sama sekali.





DAFTAR PUSTAKA
Brumbaugh, J. A. dan J. W. Moore. 1968. The effects of E alleles upon melanocytes differentitation. Dalam: Crawford, R. D. (Editor). Poultry Breeding and Genetics. Department of Animal and Poultry Science. University of Saskatchewan, Sa skatoon.
Cahaner, A., N. Deep and M. Gotman. 1993. Effect of the plumage-reducing naked neck (Na) gene on the performance of fast-growing broilers at normal and high ambient temperatures. Poultry Sci. 72: 767775.
Crawford, D. S. 1990. Poultry Breeding and Genetics. Elsevier, Amsterdam.
Crawford, R. D. (Editor). Poultry Breeding and Genetics. Department of Animal and Poultry Science. University of Saskatchewan, Saskatoon.
Diwyanto, K dan S. N. Prijono, 2007. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ensminger, M. E. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Interstate Publishers, Inc. USA
Horst, P. and P. K. Mathur. 1994. Feathering and adaptation to tropical climates. Proc. 9th European Poultry Conference, Agustus 7-12th., glasgow, Uk.
Hutt, T. B. 1949. Genetics of The Fowl. Hill Book Company, Inc., New York.
Jull, M. A. 1951. Poultry Disease. 3rd Ed. Mc Graw-Hill Book Company, Inc., New York.
Mansjoer, I., S. S. Mansjoer dan D. Sayuthi. 1989. Studi banding sifat-sifat biologis ayam Kampung, ayam Pelung, dan ayam Bangkok, Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mansjoer, S. S. 1981. Studi sifat-sifat ekonomis yang menurun pada ayam Kampung. Laporan Penelitian No. 15/Penelitian/PUT/IPB/1979-1980. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mansjoer, S. S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam Kampung beserta persilangannya dengan Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
May, C. G. 1971. British Poultry Standards. Third Ed. I Liffe Books, London.
Merat, P. 1993. Pleiotropic and associated effects of major genes. in: Poultry Breeding and Genetics. R. D. Crawfond, ed. Elsevier Scientific Publishers, Amsterdam. The Netherlands.
Peguri, A. and C. Coon. 1993. Effect of feather coverage and temperatur on Layer Performance. Poultry Sci. 72: 1318-1329
Smyth, J. R. 1976. Genetics control of melanin pigmentation in the fowl. Dalam:
Somes, R. G. 1993. Mutations and Major Variant of Plumage and skin in chicken. In: Poultry Breeding and Genetic. R. D. Crawford, ed. Elsevier Scientific Publishers. Amisterdam. The Netherlands.
Touchburn, S. P., J. Guilaume, B. Lecleicd, and J. C. Blom. 1980. Lipid and energy metabolism in chicks affected by dwarfism (dw) and naked neck (Na) gene. Pultry Sci. 59 : 2189-2197
Warwick, E. J., J. M. Astuti, W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yunis. R., and A. Cahaner. 1999. The Effects of the Naked Neck (Na) and Frizzel (F) genes on growth and meat yield of broilers and their interactions with ambient temperatures and potential growth rate. International Journal of Poultry Science 78:1347-1352.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments

Silahkan memberi komentar yang membangun EmoticonEmoticon