MENGENAL PAKAN UTAMA IKAN NILA

3:57 PM Add Comment

Nila (Oreochromis niloticus) adalah ikan yang berasal dari benua afrika, ikan tersebut sampai di Indonesia melalui beberapa negara seperti taiwan, jepang dan filiphina. Ikan nila pertama kali masuk Indoneisa pada tahun 1969 kemudian berkembang menjadi komoditas umum di budidaya perikanan air tawar dan payau. Secara kasat mata jenis nila yang banyak berkembang di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu nila merah (red tilapia strain) dan nila hitam (nile tilapia strain). Nama Oreochromis niloticus  sebenarnya lebih merujuk pada jenis nila hitam, sedangkan nila merah adalah nila yang berasal dari persilangan.

Tingkat adaptasi nila di berbagai kondisi lingkungan sangat luas. Di daerah asalnya yaitu benua Afrika, nila dapat dihup di perairan dangkal mauun dalam, rawa, danau alam, danau buatan, mata air panas, danau asam, danau basa, danau air payau, danau kawah, danau buatan hingga perairan laut. Kemampuan beradaptasi nila ditunjang dengan ketersediaan pakan alami di lokasi tersebut.

Pakan alami merupakan jenis pakan yang tumbuh di habitat alami suatu makhluk hidup. Ikan-ikan termasuk nila yang hidup bebas di sungai, rawa dan danau yang memakan pakan alami di habitatnya pada kenyataannya dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Perairan sebagai habitat utama ikan sebenarnya telah menyediakan pakan alami bagi ikan-ikan yang hidup di dalamnya.

Keberadaan pelet ikan membuat pakan alami terlupakan. Pembudaiya ikan dimudahkan oleh kepraktisan penggunaan pelet sebagai pakan, padahal sekitar 50-70% dari biaya produksi budidaya ikan adalah biaya pakan. Jika pembudidaya ikan terus menggantungan pada pelet maka konsep dari kemandirian pembudidaya sebagai produsen akan hilang, karena melalui pemanfaatan pelet tersebut secara tidak langsung maka pembudidaya juga sebagai konsumen. Jika sebagai konsumen suatu produk yang akan dipergunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk lain tentu dalam proses produksi tersebut akan terpengaruh dengan harga dan keberadaan bahan baku. Tidak jarang kita lihat di berita di televisi atau surat kabar banyaknya pembudidaya yang gulung tikar atau merugi akibat fluktuatifnya harga dan kelangkaan bahan baku(pakan), apalagi ketika kondisi perekonomian negara tidak stabil yang menyebabkan kelesuan pasar dan melemahnya nilai tukar rupiah.

 Jauh sebelum penggunaan pelet masyarakat yang membudidayakan ikan nila memanfaatkan daun dari tumbuhan jenis tertentu seperti daun pepaya dan daun ubi jalar sebagai pakan. Tumbuhan ini sering dibudidayakan di sekitar kolam ikan dan dimanfaatkan untuk pakan ikan nila. Tetapi secara alamiah pakan dari daun-daunan tersebut tidak dikonsumsi ikan nila. Ikan nila hidup di air, maka ikan nila hanya bisa memakan tumbuhan yang berada di air. Tumbuhan seperti pepaya dan ubi jalar tidak bisa disebut dengan pakan alami ikan nila karena habitat tumbuhnya berbeda, secara alamiah tidak mungkin ikan nila naik ke daratan untuk memakan daun dari tumbuhan tersebut.

“pakan alami bukanlah pakan alternative selain pelet. Justru, pelet adalah pakan alternatif dan pakan alami adalah pakan utama”

Konsep penggunaan pakan alami pada dasarnya adalah menjalankan prinsip budidaya yang mengintegrasikan dua hal yaitu pengelolaan pakan dan pengelolaan ikan. Melalui penggunaan pakan alami maka pembudadaya akan mampu untuk mengontrol dari jumlah pakan yang diperlukan dengan ikan yang dibudidayakan. Dengan cara demikian maka pembudidaya ikan nila akan menjadi produsen yang mandiri.

Di alam bebas ikan nila mengkonsumsi makanan alami yaitu : Phytoplankton, zooplankton dan tanaman air.
1.   Phytoplankton
Phytoplankton merupakan jenis plankton yang memiliki klorofil atau pigmen (phycobiliprotein atau xantofil) yang menyebabkan plankton tersebut memiliki warna yang khas. Phytoplankton meruakan sumber uatama pembentukan senyawa organik dan karbondioksida terlarut dalam air untuk mendukung pembentukan jaringan makanan air. Phytoplankton memperoleh energi dari proses fotosistensis di air. Jenis organisme yang termasuk ke dalam phytoplankton antara lain : Diatom, Cynobakter,Dinoflagellata dan Cocolithopores.

2.   Zooplankton
Zooplnakton merupakan jenis organisme yang termasuk ke dalam golongan protozoa kecil dan metazoa besar. Zooplankton memakan jenis plankton lain (bacterioplankton, phytoplankton, dan zooplankton lain). Zooplankton bisa ditemukan di permukaan air yang memiliki sumber daya makanan yang berlimpah. Contoh Zooplankton antara lain : cacing air bersegmen, Crustacea, larva dan telur hewan air.

3.   Tanaman air
Tanaman air merupakan jenis tumbuhan yang hidup di sekitar lingkungan perairan dan biasanya menempel di batu-batuan, dasar perairan atau mengambang di permukaan air. Tumbuhan ini biasa di kenal dengan sebutan hydrophytes atau macrophytes. Tubuh tumbuhan ini ada yang keseluruhan bagiannya terendam air, sebagain terendam air, atau seluruhnya berada di atas permukaan air. Tumbuhan air tersebut secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
-      Stomata dipermukaan tanaman bersifat terbuka dan tidak terdapat sel penjaga stomata
-      Peningkatan jumlah stomata hanya terdapat pada salah satu sisi daun
-      Struktur daun cenderung halus dan tidak kaku karena daun ditopang oleh air atau permukaan air,
-      Akarnya cenderung ringan dan tidak perlu menopang tumbuhan. Akar ini memiliki kemampuan khusus untuk mengambil oksigen dari air dan lingkungan,
-      Bentuk daun cenderung melebar dan tipis agar mudah terapung di dalam atau di atas air,
-      Terdapat kantong udara pada jenis tumbuhan yang mengapung di permukaan air untuk memudahkan pergerakan,
-      Memiliki laisan kutikula yang tipis. Kutikula ini berfungsi untuk menghindari penguaan air yang besar. Pada tumbuhan air, kutikula ini tidak terlalu berperan enting karena ketersediaan air di lingkungan cukup banyak.

Tanaman air ini terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
a.   Tumbuhan Dalam Air
Tumbuhan dalam air merupakan jenis tumbuhan yang bagian akar hingga ujung tangkai dan daunnya terendam di dalam air. Tumbuhan ini memiliki kemampuan untuk membersihkan udara, menyerap kandungan garam yang berlebihan di dalam air, menjadi pelindung bagi ikan, dam tempat menyimpan telur ikan. Tumbuhan ini biasanya digunakan sebagai tanaman hias pada akuarium. Contoh tumbuhan ini adalah : Hydrilla verticilata, Ultrcularis bifida, Spirogyra sp. dan Limnophila sessiliflora.

b.   Tumbuhan Air Tepian atau Pinggiran
Tumbuhan air tepian merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh di tempat yang selalu basah, dalam cekungan air atau rawa-rawa. Bagian batang tumbuhan ini biasanya ikut terendam air, tetapi sebagian batang lain, daun dan bunganya muncul di permukaan air. Contoh tumbuhan ini adalah Acorus calamus, Cyperus sp dan Sagittaria sp.

c.   Tumbuhan Mengapung
Tumbuhan mengapung merupakan jenis tumbuhan air yang mengapung di permukaan air yang bergerak atau air yang tenang. Tumbuhan air biasanya berada di permukaan air dan hanya bagian akar saja yang terendam. Tumbuhan jenis ini biasanya merupakan jenis tumbuhan yang pertumbuhannya cepat dan dapat menutupi bagain permukaan air dalam waktu singkat. Contoh tumbuhan air ini adalah Lemna sp., Enceng gondok, Selada air, dan Woffia sp.
Lemna Sp. merupakan salah satu pakan utama ikan Nila (Oreochromis niloticus)

d.  
Tumbuhan Air Lumpur
Tumbuhan air lumpur merupakan jenis tumbuhan air yang memerlukan lumpur untuk hidup. Jenis tumbuhan ini biasanya dijadikan hiasan kolam untuk memberikan kasan natural pada kolam. Contoh tumbuhan ini adalah : Echinodorus sp. dan Araceae sp.

Tanaman air yang biasa dikonsumsi ikan nila sebagai pakan alaminya berasal dari tumbuhan air dalam dan tumbuhan air mengapung antara lain : Lemna sp., Spirogyra sp., dan Woffia sp.



CARA PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

7:00 AM Add Comment
Hama dan penyakit tanaman disebut juga dengan organisme pengganggu tanaman (OPT), didalamnya juga termasuk gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Melihat dari keadaan di lahan pertanian, hama dan penyakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya tanaman itu sendiri, karena merupakan satu kesatuan ekosistem di lahan pertanian. Adanya ketidak bijaksanaanya manusia dalam hidup berdampingan dengan alam yang merubah keseimbangan ekosistem tersebut. Pada saat kita menempuh pendidikan sekolah baik itu di jenjang SMP atau SMA kita sudah mulai diperkenalkan dengan pelajaran biologi, dalam pelajaran tersebut diperkenalkan dengan berbagai macam tumbuhan serta hewan yang ada di alam. Inti dari pelajaran tersebut adalah semua makhluk hidup memiliki ketergantungan, membuat suatu siklus rantai makanan. Ada yang herbivora, karnivora dan omnivora. Semua makhluk hidup memiliki peranan masing-masing dan membentuk suatu keseimbangan ekosistem.

Contoh dari ketidak seimbangan ekosistem adalah ledakan hama tikus sawah. Banyak orang yang berpendapat bahwa ledakan hama tikus sawah diakibatkan karena beberapa hal seperti : kemampuan reproduksinya yang tinggi, termasuk hewan pintar dan mulai berkurangnya musuh alami akibat perburuan yang dilakukan manusia. Pendapat yang terakhir dapat dengan mudah diterima oleh nalar kita ketika kita mengacu pada keseimbangan ekosistem, karena sudah tidak ada lagi yang memangsa tikus, maka tikus mudah untuk berkembang biak. Apalagi didukung dengan ketersediaan sumber pakan. 

Contoh lain adalah aplikasi pestisida kimia yang kurang bijaksana. Keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian membuat petani terkadang menghalalkan segala cara, termasuk menaikkan dosis dan intensitas semprot pestisida kimia. Hal tersebut bisa dimaklumi karena adanya ketakutan kegagalan panen yang diakibatkan serangan hama/penyakit, padahal sumber utama pendapatan adalah dari usahatani tersebut, dan rata-rata pendapatan petani adalah musiman. Tetapi edukasi tetap penting dilakukan, agar kondisi demikian tidak berlanjut dan berlarut larut. Dampak dari tidak bijaksananya petani hidup berdampingan dengan alam adalah ketidaksembangan ekosistem yang bisa menyebabkan adanya ledakan hama baik itu hama primer maupun hama sekunder.

Untuk memperbaiki keadaan tersebut, maka campur tangan manusia sangat diperlukan. Ada beberapa cara pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dapat dilakukan yaitu :

1. Kultur Teknis
Kultur teknis merupakan tindakan preventif yang dilakukan sebelum ada serangan hama dan penyakit, dengan sasaran adalah menekan populasi hama/penyakit tersebut. Supaya memberikan hasil yang baik maka petani perlu memperhatikan aspek biologi dan ekologi hama, tanaman yang dibudidayakan, lingkungan pertanaman dan praktik budidaya yang biasanya dilakukan oleh petani. Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat.
Pertumbuhan tanaman yang sehat merupakan suatu cara budidaya tanaman dengan cara pengelolaan lingkungan tanaman untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal dan membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakkan atau pertumbuhan serangga hama dan penyakit serta mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati. 
Contoh dari upaya budidaya tanaman yang sehat adalah membersihkan gulma sehingga cahaya matahari, nutrisi, air dan udara bisa diambil tanaman budidaya secara maksimal, sehingga tanaman budidaya pertumbuhannya baik/sehat. Dengan tidak adanya gulma juga menekan hama untuk berkembang biak. 
Kultur teknis yang dapat dilakukan untuk mendukung perkembangan biakan agensi hayati adalah dengan menanam refugia, tanaman refugia bisa menjadikan tempat berlindung bagi predator dan parasitoid dari cekaman biotik dan abiotik/ perubahan lingkungan, sehingga marasa nyaman dan dapat berkembang biak.
menananam refugia sebagai tempat berlindung musuh alami

2. Pengendalian Fisik/ Mekanis
Pengendalian secara fisik/ mekanis merupakan cara pengendalian yang paling sederhana, kita bisa mematikan hama dengan menggunakan tangan seperti memecahkan telur penggerek batang padi. Tujuan dari pengendalian fisik/ mekanis adalah secara langsung dan tidak langsung untuk : mematikan hama, mengganggu aktifitas fisiologi hama, dan memodifikasi lingkungan (bukan bagian dari budidaya) agar tidak sesuai untuk hama. 
Contoh pengendalian hama secara fisik adalah : menggenangi sawah untuk mematikan hama yang berada di tanah misalnya uret, mengeringkan sawah untuk mematikan hama keong mas, melakukan pengasapan untuk pengendalian tikus, pembakaran tanaman yang terserang penyakit, penggunaan lampu perangkap, penggunaan perangkap warna, penggunaan gelombang suara, dan menggunakan barrier/penghalang.
Contoh pengendalian hama secara mekanis adalah : pengambilan langsung dengan tangan, gropryokan, pemasangan alat perangkap, dan pengusiran dengan orang-orangan sawah.

3. Pengendalian Hayati
Pengendalian secara hayati adalah pengendalian hama dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya seperti predator, parasitodi dan patogen. Musuh alami hama pada lahan pertanian dapat di lihat di Patogen Parasitoid Predator
Musuh alami merupakan pengendali alami hama yang bekerja untuk mengendalikan kepadatan populasi hama, keberadaannya tidak lepas dari hama tersebut. Adanya ledakan hama yang menyebabkan kerugian bagi petani adalah akibat dari keadaan lingkungan yang kurang memberikan kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. 
Pengendalian hayati selain memiliki fungsi untuk mengendalikan kepadatan hama juga memiliki peranan sebagai berikut :
a. Membantu petani untuk menghasilkan produk pertanian yang sehat dan aman.
Residu pestisida pada produk pertanian dapat diminimalisir dengan menanfaatkan agensia hayati. Selain itu agensia hayati jelas tidak beracun bagi manusia dan hewan, sehingga tidak berbahaya bagi petani maupun hewan ternak.
b. Mengatasi ketidakmampuan pestisida kimia dalam menekan populasi hama dan penyakit
Penggunaan fungisida kimia untuk mengendalikan penyakit pada tanaman tidak selalu berhasil, bahkan yang terjadi malah dosisnya semakin meningkat untuk mengendalikan penyakit yang sama. Hal ini disebabkan karena jamur yang menjadi penyakit tersebut telah mengalami mutasi dan mampu beradaptasi dengan fungisida kimia tersebut. Selain dampak dari semakin tingginya dosis juga banyaknya mikroba yang bermanfaat di dalam tanah ikut mati karena aplikasi tersebut.

4. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian OPT secara kimiawi merupakan upaya pengendalian pertumbuhan OPT menggunakan zat kimia. Pengendalian kimia dilakukan dengan cara penyemprotan zat kimia pada bagian tumbuhan. 
Pengendalian kimiawi ini ada beberapa macam, salah satunya adalah dengan menggunakan insektisida (pengendali serangga). Insektisida memiliki dua cara kerja yaitu sistemik dan non sistemik. Insektisida sistemik adalah insektisida yang diserap oleh bagian-bagian tanaman melalui stomata, meristem akar, lentisel batang, dan celah-celah alami. Selanjutnya insektisida akan melewati sel-sel menuju ke jaringan pengangkut baik xylem maupun floem. Insektisida tersebut akan meninggalkan residu pada sel-sel yang telah dilaluinya, melalui dua jaringan pengangkut tersebut insektisida di translokasikan ke bagian-bagian tanaman baik ke arah atas maupun ke arah bawah, termasuk bagian pucuk daun dan tunas, serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang mengandung residu insektisida.
Insektisida non sistemik tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman. Lamanya residu isektisida yang menpel tersebut tergantung dengan bahan aktif yang dikandung, teknologi bahan dan aplikasinya. Serangga akan mati apabila memakan bagain tanaman yang permukaannya terkena insektisida.
Dalam pengendalian hama dan penyakit, pestisida memeiliki peranan yang cukup penting, oleh karena itu pestisida yang hendak diaplikasikan harus memiliki persyarakat sebagai berikut :
a. Harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain, seperti komponen pengendalian hayati
b. Efisien untuk mengendalikan hama tertentu
c. Meninggalkan residu dalam waktu yang diperlukan
d. Tidak boleh presisten, mudah terurai
e. Relatif aman untuk lingkungan fisik dan biota
f. Relatif aman bagi pemakai
Penggunaan pestisida harus mematuhi 5 tepat : Tepat jenis, tepat cara aplikasi, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat takaran.
Cara aplikasi pestisida dapat dilihat di sini    

5. Pengendalian Secara Terpadu (PHT)
PHT adalah suatu konsepsi atau cara berfikir mengenai pengendalian organisme pengganggu tanaman dengan pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk mengelola populasi hama dan penyakit dengan memanfaatkan beragam taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan. Karena pendekatan yang digunakan adalah ekologi maka pemahaman tentang biologi  dan ekologi hama penyakit sangat penting.
Startegi pengendalian hama yang dapat dilakukan dalam PHT adalah : (1) mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat (2) Pengendalian hayati (3) Penggunaan varietas tahan (4) Pengendalian secara mekanik (5) Pengendalian secara fisik (6) Pengendalian dengan menggunakan senyawa kimia alami yang dihasilkan oleh suatu organisme tertentu yang bisa mempengaruhi sifat serangga sasaran (7) Pengendalian secara genetik dan (8) Penggunaan pestisida kimia.
Dalam PHT petani harus selalu melakukan pengamatan secara rutin untuk dapat mengetahui perkembangan populasi hama dan musuh alaminya serta untuk mengetahui kondisi tanaman. Informasi yang diperoleh dari pengamatan tersebut menjadi dasar untuk dilakukan tindakan selanjutnya.

REFUGIA UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN

2:00 PM Add Comment
Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi usaha peningkatan produksi pertanian. Sehingga diperlukan usaha untuk mengatasi persoalan tersebut. Usaha yang dimaksudkan di sini adalah sistem pertanian yang ramah terhadap lingkungan dan mampu mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Selama ini pengendalian hama dilakukan menggunakan pestisida kimia, karena dirasa mampu mengendalikan hama dalam tempo yang cepat dan hasilnya terlihat dalam waktu yang tidak lama setelah penyemprotan. Namun penggunaan pestisida kimia ini jika tidak dilakukan secara bijaksana akan menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain terjadinya pencemaran lingkungan, menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia, terjadinya ledakan hama sekunder dan kematian musuh alami.

Ketidakmampuan pestisida dalam mengendalikan hama juga berdampak negatif dengan memicu ledakan populasi hama akibat resistensi atau resurgensi. Resistensi adalah proses perubahan sensitivitas yang diwariskan dalam populasi hama yang tercermin dalam kegagalan berulang suatu pestisida untuk mengendalikan hama sesuai dengan dosis rekomendasi. Resurgensi wereng cokelat merupakan proses peningkatan populasi setelah aplikasi insektisida dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari yang tidak diaplikasi insektisida. Resurgensi merupakan proses perubahan fisiologi tanaman sehingga lebih disukai oleh hama tertentu, atau ada rangsangan pestisida terhadap hama yang mendukung kelangsungan pada satu atau beberapa fase hidupnya (Baehaki et al., 2016 dalam Amanda, 2017). Seringkali fenomena tersebut memunculkan atau meningkatkan status suatu jenis hama dari bukan hama menjadi hama penting setelah paparan insektisida.

Praktek-praktek penggunaan pestisida kimia secara tidak bijaksana menjadi kebiasan yang umum terjadi pada petani di desa. Kurangnya kesadaran terhadap dampak negatif pestisida kimia dan ketakutan yang berlebih akan kegagalan panen membuat petani menempuh cara-cara instan. Bahkan dosis pemakaian pestisida kimia cenderung meningkat dari musim ke musim karena adanya resistensi hama terhadap bahan aktif pertsisida kimia dan dosisnya. Dalam jangka panjang kebiasaan tersebut akan menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan penurunan daya dukung lahan untuk memberikan pertumbuhan tanaman yang baik karena banyaknya organisme-organisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman ikut terbunuh.

Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia dapat dukurangi dengan cara pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, maksud kata terpadu ini adalah tidak hanya menggunakan satu macam cara saja, tetapi ada tahapan-tahapan sebelum memilih menggunakan pengendalian menggunakan kimia. Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah dengan terelbih dahulu memanfaatkan agen hayati. Pemanfaatan agen hayati ini juga merupakan bentuk dari sistem pertanian berkelanjutan, dengan melihat bahwa di lahan pertanian harus terwujud rantai ekosistem yang baik. Di lahan pertanian ada keseimbangan antara hama dengan musuh-musuh alaminya, sehingga tidak ada serangan hama dan penyakit yang menyebabkan kerugian dalam usahatani. Keberadaan musuh alami organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat melemahkan, mengurangi fase reproduktif sampai membunuh OPT. Musuh-musuh alami dapat dikategorikan menjadi tiga macam ( B.M. Shepard  et al, 1987) yaitu :
(1) Predator, Predator merupakan golongan makhluk hidup yang paling penting sebagai pengendali kehidupan organisme pada tanaman, tiap predator akan memakan banyak mangsa dalam hidupnya. Predator memliki bentuk yang dapat dilihat walaupun kerap kali ada yang masih sulit dibedakan dengan hama yang terdapat di lahan pertanian. Contoh predator adalah : kumbang kubah, laba-laba, kepinding air, belalang sembah. Predator cenderung merupakan pemangsa yang umum dan sering menyerang spesies serangga berguna lainnya. Hal ini terjadi jika jumlah makanan yang tersedia terbatas. Namun pada umumnya predator akan memangsa jenis serangga yang paling melimpah yang dijumpai pada lahan seperti serangga-serangga hama tanaman. Perlu disadari bahwa serangga hama pada jumlah tertentu, selama tidak merugikan secara ekonomis adalah baik untuk memelihara adanya populasi predator, sehingga dapat mencagah ledakan hama yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian secara ekonomi.
(2) Parasit, serangga parasit umumnya memiliki inang yang lebih khas apabila dibandingkan dengan predator. Pada umumnya serangga parasit ukurannya lebih kecil dan sukar untuk dilihat dengan mata, kecuali parasit yang berukuran besar dan berwarna cerah. Parasit memiliki peranan yang penting dalam upaya mengendalikan populasi hama. Bila predator memerlukan beberapa mangsa untuk perkembangannya, umunya parasit hanya memerlukan seekor serangga inang. Parasit meletakkan telur secara berkelompok atau sendiri-sendiri pada tubuh inang, di dalam atau di dekat inang.  Bila telur parasit menetas dan menjadi dewasa makan inangnya akan segera mati. Satu jenis hama dapat diserang oleh banyak jenis parasit.  Parasit dapat menyerang telur, larva, nimfa, kepompong atau inang dewasa. Parasit bekerja lebih efektif pada saat jumlah inang berlebih. Berbeda dengan predator, parasit tetap dapat menemukan inangnya meskipun tingkat kepadatan inang rendah. Contoh parasit adalah tabuhan (Tetrastichus schoenobii).
(3) Patogen, berbagai jasad renik dapat menyebabkan infeksi dan membunuh hama pada tanaman di lahan pertanian. Kelompok jasad renik utama adalah cendawan, virus dan bakteri. Nematoda dan beberapa organisme lain juga ada yang bersifat demikian. Cendawan sejauh ini adalah patogen yang sangat penting, contoh cendawan yang bermanfaat untuk mengendalikan populasi hama adalah Nomuralea rileyi, Beauveria bassiana.

Musuh alami tersebut harus memiliki ketersediaan pakan dan tempat berlindung agar mampu menjadi faktor penekan perkembangan populasi hama. Melalui pemanfaatan tumbuhan berbunga pada pematang sawah, disebut juga dengan tanaman refugia. Ternyata mampu menekan perkembangan populasi hama. Tanaman refugia dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi musuh alami serta sebagai penyedia pakan. Menurut Keppel et al (2012) dalam Amanda (2017) Refugia menjadi mikrohabitat yang menyediakan tempat berlindung scara spasial dan atau temporal bagi musuh alami hama, seperti predator dan parasitoid, serta mendukung komponen interaksi biotik pada ekosistem, seperti polinator atau serangga penyerbuk.

Sebagai penyedia pakan, tanaman refugia mempunyai potensi menyokong mekanisme sistem yang meliputi  perbaikan ketersediaan makanan alternatif seperti nektar, serbuk sari, dan embun madu, menyediakan tempat berlindung atau iklim mikro yang digunakan serangga predator untuk bertahan melalui pergantian musim atau berlindung dari faktor-faktor ekstremitas lingkungan atau pestisida; dan menyediakan habitat untuk inang atau mangsa alternatif (Landis et al., 2000 dalam Amanda, 2017).

Kegiatan penanaman tanaman refugia di pematang-pematang sawah merupakan bentuk dari proses memanipulasi habitat. Manipulasi habitat sendiri adalah salah satu program dalam pengelolaan hama terpadu, dan dapat digunakan bersamaan dengan teknik budidaya yang lain dan menjadi dasar program konservasi agens hayati. Menurut Kurniawati dan Edhi (2015) Tumbuhan atau gulma berbunga yang berperan penting dalam konservasi musuh alami ini umumnya berasal dari famili  Umbelliferae, Leguminosae,  dan Compositae dan di antaranya adalah kubis (Brassica oleraceae L), bunga matahari (Helianthus annus L), Okra (Abelmoschus esculentus L), basil (Ocimum bassilicum L), terung (Solanum melongena), dan rumput Sudan (Sorghum bicolor).  Tanaman lain yang juga dapat dimanfaatkan adalah Phacelia tanacetifolia, Akar Wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash), Kangkung Hutan (Ipomoea crasicaulis Rob.), bunga marigold ( Tagetes erecta L.), kacang hias (Arachis pintoi), Brassica kaber, Barbarea vulgaris, Daucus carota, Phacelia tanacetifolia, Fagopyrum esculentum, Anethum graveolens, Vicia faba, Tropaleoleum majus, L. pedunculatus, Lythrum salicaria, Caleopsis pubescens,  Stachys palustris, Turnera subulata, Sesamum indicum, Emilia sonchifolia, Impatiens balsamina, Chamalaelum nobile,  Crepis vesicara, Jagung (Zea mays), Kacang panjang (Vigna cylindrica), Putri malu (Mimosa pudica), Sawi langit (Vernonia cinereal), Semanggi (Marsilea crenata), Kayambang (Pistia startiotes) dan kenikir (Cosmos sulphureus).
bunga kenikir yang menjadi tempat hidup predator (belalang sembah)
Kenikir merupakan salah satu tanaman refugia yang memiliki keunggulan dalam hal menopang tumbuh dan berkembangnya musuh alami. Berikut keunggulan tanaman kenikir :

(a)Pertama tanaman kenikir bisa menjadi tempat berlindung bagi predator dan parasitoid. Umur tanaman kenikir melebihi umur tanaman pokok, jika ditunjang dengan kondisi lahan yang subur tanaman kenikir bisa tumbuh terus menerus. Mampu tumbuh baik pada tanah yang kekurangan air. Produksi bijinya sangat banyak dan mudah tumbuh apabila kondisi lingkungannya mendukung, terutama bila air cukup/ musim penghujan. Dengan demikian predator dan parasitoid memiliki tempat berlindung sepanjang musim penghujan maupun kemarau. Tanaman kenikir mampu memberikan tempat yang menunjang perkembangbiakan predator dan parasitoid, daunnya lebat dan banyak sehingga bisa menjadi tempat bersembunyi.

(b)Ke dua tanaman kenikir memiliki nektar yang bermanfaat sebagai penyedia makanan alternatif. Nektar juga bermanfaat meningkatkan ketegaran (fitness) predator dan parasitoid. Fungsinya sama seperti suplemen makanan bagi manusia untuk menambah daya tahan tubuh.

(c)Ke tiga bunga kenikir memiliki warna kuning mencolok, warna kuning mencolok ini menarik bagi serangga, sehingga kenikir dapat berfungsi sebagai tanaman perangkap. Predator akan bersembunyi di bunga kenikir, ketika datang hama maka predator tersebut akan memakannya. Konsep menggunakan warna kuning untuk perangkap hama secara umum sudah diterapkan pada perangkap kuning yang di berikan lem



Daftar Pustaka

Amanda, Ulima Darmania. 2017. Pemanfaatan Tanaman Refugia Untuk Mengendalikan Hama Dan Penyakit Tanaman Padi . Buletin IKATAN Volume 7 Nomor 2 (29-45),

Kurniawati , Nia., Edhi Martono. 2015.  Peran Tumbuhan Berbunga Sebagai Media Konservasi Artropoda Musuh Alami. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 19, No. 2, (53–59).

Shepard, B.M., A.T.  Barrion dan J.A. Litsinger. 1987. Serangga-Serangga , Laba-Laba dan Patogen Yang Membantu. Lembaga Penelitian Padi Internasional. Manila Philippines,

SIKLUS HIDUP LEBAH MADU

6:00 AM Add Comment
Secara morfologis lebah dimasukkan ke dalam kelas insekta karena tidak mempunyai kerangka internal tempat bertaut otot. Sebagai pengganti dari kerangka internal adalah penutu tubuh eksternal yang mengandung kitin, yang sekaligus menutup organ-organ dalam. Tubuh lebah madu terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen). Pembagian tubuh lebah madu dapat dilihat pada gambar berikut ini :
1. Kepala (caput)
Kepala atau caput terdiri atas :
a. Antena yang berjumlah 2 dan berfungsi sebagai radar (detector)
b. Mata 2 buah yang terdiri dari kurang lebih 5.000 lensa mikro dan 3 buah mata sederhana kecil disebut dengan mata ocelli
c. Mulut memiliki 2 rahang kanan dan 2 rahang kiri dilengkapi dengan :
   - Lidah penghisap nektar kental dan nektar yang letaknya jauh ke dalam
   - Lidah penjilat nektar cair (nektar yang mudah dijangkau/dangkal)
   - Lidah rambut merah : untuk menguji rasa manis
d. Telinga getar, merupakan alat untuk menerima suara lewat getaran dengan perantara angin.
kepala lebah

2. Dada (thorax)
Pada bagian dada lebah terdapat :
a. Sayap, terdiri dari 2 pasang yang daat membawa lebah terbang dengan kecepatan 5,5 meter/detik dan kemampuan getarnya 7 kali/detik
b. Kaki terdiri dari 3 pasang dan berbulu, kaki bagian belakang berfungsi ganda yaitu untuk berjalan dan pengangkut tepung sari karena dilengkapi dengan kantung tepung sari. Seekor lebah dapat mengangkut tepung sari sekitar 15-20 kali berat tubuhnya. Berbeda dengan binatang lainnya misalkan kuda yang hanya dapat mengangkut beban 1 kali dari berat tubuhnya.

3. Perut (abdomen)
Pada bagian perut lebah terdiri dari :
a. Kantong nektar, yaitu tempat untuk menampung nektar yang berhubungan dengan perut lewat sebuah katup. Nektar yang diperoleh langsung diproses dalam perut menjadi madu dengan bantuan enzim invertase yang berasal dari lebah dan nektar itu sendiri.
b. Alat kelenjar lilin untuk mengubah madu menjadi lilin (malam) yang akan dikeluarkan lewat bagian bawah perut
abdomen lebah madu

Setelah tadi kita bahas mengenai bagian dari lebah madu, berikut kita akan membahas mengenai siklus hidup dari lebah madu. 

Secara umum siklus hidup lebah madu diawali dari telur, larva, pupa (kepompong) dan lebah dewasa. Masa atau lama waktu masing-masing kasta untuk menjadi lebah dewasa berbeda-beda. Rincian dari siklus hidup lebah madu dapat dilihat pada tabel di bawah ini (dalam satuan Hari):
Tabel Siklus Hidup Lebah Madu (dalam satuan Hari)
gambar siklus hidup lebah
Lebah madu hidup dalam suatu keluarga besar yang disebut dengan koloni, yang berdiam dalam satu sarang lebah. Jenis koloni yang biasanya dibudidayakan adalah Apis cerana dan Apis mellifera. Di dalam koloni terdapat seekor lebah ratu, beberapa ratus lebah jantan dan puluhan ribu lebah pekerja. Jumlah tersebut tergantung pada efektivitas penyerbukan dan kondisi makanan(bunga) di tempat tersebut. Masing-masing anggota koloni memiliki pekerjaan yang dilakukan secara fungsional dan profesional.

Sel sarang/ sisir adalah semacam lilin/malam yang merupakan tempat lebah tersebut berkelompok. Sel sarang tersebut dipergunakan untuk menyimpan makanan dan tempat telur/ pemeliharaan keturunannya. Jumlah makanan yang tersimpan dalam sarang tergantung pada kondisi flora, cuaca, jumlah lebah perkoloni dan jenis lebah.

1. Lebah Ratu
Lebah ratu merupakan pemimpin koloni dan bertanggung jawab terhadap keutuhan dan kekompakan koloni. Ratu ini berjenis kelamin betina dan hanya terdapat satu ekor di setiap koloni. Tugas utama ratu lebah adalah menghasilkan telur untuk perkembangbiakan koloni. Ukuran ratu paling besar, panjang badannya hampir dua kali lebah pekerja dan beratnya hampir tiga kali dari berat lebah pekerja. Umur ratu bisa mencapai 6 tahun.

2. Lebah Jantan
Lebah jantan berasal dari telur yang tidak dibuahi. Lebah ini berfungsi sebagai pemacek, yaitu mengawini ratu muda. Jika beruntung, seekor lebah jantan hanya dapat kawin sekali selama hidupnya, karena setelah berhasil mengawini ratu lebah ini akan mati. Karena sifatnya yang pemalas, ada saat krisis makanan banyak lebah jantan dibunuh oleh lebah pekerja.

3. Lebah Pekerja
Lebah pekerja adalah kelompok yang jumlahnya paling banyak dalam koloni. Lebah pekerja berasal dari sel telur yang dibuahi. Ovariumnya tidak berkembang sempurna sehingga tidak dapat bertelur. Lebah pekerja bertanggungjawab terhadap kesejahteraan koloni. Kecuali tugas reproduksi, semua pekerjaan pada koloni lebah madu sepenuhnya dilakukan oleh lebah pekerja. Tugas lebah pekerja sesuai dengan perkembangan umur
  - Dari mulai menetas sampai umur 3 hari sebagai petugas kebersihan
  - Umur 3 - 12 hari bertugas sebagai perawat larva
  - Umur 13 - 18 hari bertugas membuat dan memoles sisiran sarang
  - Umur 18 - 20 hari bertugas sebagai engawal dan menjaga kesegaran udara dalam sarang
  - Umur 20 hari sampai datangnya kematian lebah bertugas mengumpulkan nektar, polen, propolis dan air.
Dimasa tuanya lebah pekerja bertugas memandu lebah muda untuk mencari lokasi pengumpulan nektar, propolis dan air.     

   

MENJAGA KESUBURAN TANAH TANPA PUPUK KANDANG

8:49 PM 1 Comment
Hal yang sangat lumrah apabila kesuburan tanah atau lahan pertanian di pertahankan atau ditingkatkan melalui pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak (pupuk kandang). Tetapi jika melihat kondisi tidak semua petani memiliki ternak maka untuk mendapatkan pupuk tersebut tidaklah mudah, besar kecilnya usaha untuk mendapatkan pupuk kandang tersebut bisa menjadi faktor aplikasi pupuk organik untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk itu perlu alternatif yang daat dipergunakan oleh petani, khususnya petani yang tidak memiliki ternak untuk tetap dapat menyuburkan lahan pertaniannya. Berikut akan saya ulas pemanfaatan tanaman paitan/kipahit (Thitonia diversifolia) dengan teknik tanam lorong (Alley cropping) untuk menjaga kesuburan tanah.

Kondisi lahan pertanian yang mengalami degradasi akan menyebabkan produktivitas hasil pertanian menurun atau tidak sesuai dengan harapan. Padahal ke depan kita menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat dan mensejahterakan masyarakat desa sebagai produsen bahan pangan. Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut maka harus ada upaya untuk memperbaiki kondisi lahan dan mencegah terjadinya degradasi lahan. Nasib petani di desa juga harus diperhatikan dengan upaya menurunkan biaya produksi, meningkatkan produktivitas panen dan kualitas panen, sehingga nilai jual produk pertanian bisa lebih baik.

Staben et al. (1997) dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014) menyatakan bahwa degradasi tanah akibat pengolahan tanah dimanifestasikan melalui erosi, penurunan kadar bahan organik tanah, kehilangan hara, pemadatan tanah, dan penurunan populasi mikroorganisme. Hal tersebut terjadi karena penerapan intesifikasi pertanian yang kurang bijak dan penggarapan lahan pertanian tanpa mempertimbangkan konservasi.

Intensifikasi pertanian yang kurang bijak ditandai dengan penggunaan pupuk kimia dan racun kimia secara berlebihan. Menurut Nurruohman, dkk (2018) Penggunaan bahan kimia tersebut dalam jangka waktu yang lama akan meninggalkan residu yang berdampak negatif baik bagi tanah, tanaman, dan organisme lain yang ada di lingkungan tersebut. Salah satu residu yang berdampak negatif terhadap kehidupan mesofauna dan makrofauna tanah adalah organofosfat. Organofosfat merupakan kelompok insektisida terbesar yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat sebagai racun kontak, racun perut, dan fumigant. Racun-racun ini sering digunakan oleh petani di desa hingga sekarang untuk membasmi hama dan dosisnya selalu bertambah karena ada resistensi dari hama tersebut. Ini tentu akan menimbulkan efek negatif pada lahan pertanian dan meingkatnya biaya produksi petani. Oleh karena itu kebiasaan intensifikasi secara berlebihan ini harus mulai dikurangi karena pada dasarnya keseimbangan ekosistem di alam akan menunjang keberhasilan usahatani yang dilakukan petani, dengan masih terpeliharanya mesofauna dan makrofauna maka tanah menjadi subur dan pertumbuhan tanaman menjadi sehat, tanaman tidak akan mudah terserang hama dan penyakit.

Petani yang sudah beratani lama yang merupakan pelaku utama dalam kegiatan usahatani akan dapat bercerita berdasarkan pengalaman yang mereka alami, membandingkan kondisi lahan pertaniannya antara kondisi lampau sebelum penerapan intensifikasi pertanian di tahun 1970an dengan kondisi sekarang setelah kurang lebih 48 tahun. Lahan pertanian sudah tidak subur lagi, lingkungan yang mulai rusak, jarang ditemukan hewan seperti ikan dan belut di lahan pertanian. Selain itu perlu dilakukan kegiatan edukasi kepada petani melalui penyuluhan dan pelatihan agar petani mulai sadar dampak negatif penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia secara berlebihan. Bukan hanya dampak kepada lahan pertanian tetapi juga dampak terhadap kenaikan ongkos produksi tapi juga terhadap kesehatan petani sendiri karean patani juga menjadi konsumen terhadap produk yang dihasilkannya.

Tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian yang ramah lingkungan. Pertanian jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui masukan-masukan alami seperti pupuk hayati dan pupuk organik serta pengolahan tanah dengan kaidah konservasi. Pengetahuan masyarakat tentang pupuk hayati dan pupuk organik memberikan harapan baru bagi pemanfaatan sumber pupuk selain pupuk anorganik dan demonstrasi plot memberikan keterampilan pemanfaatan limbah organik seperti jerami padi menjadi pupuk organik atau kompos secara cepat dan berkualitas. Selain itu,  pengetahuan olah tanah konservasi memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk mengolah tanah secara bijak sehinga kegiatan pertanian yang dilakukan masyarakat lebih bersifat lestari dan berkelanjutan (Herdiyanto dan Setiawan, 2015).

Usaha konservasi tanah yang berpotensi erosi pada umumnya dilakukan melalui terasering / teknik penterasan. Menurut Susilowati, dkk (1997) Teknik penterasan selama ini dinilai cukup efektif untuk menekan laju erosi, namun dalam penyebarluasarmya ke petani banyak mengalami hambatan terutama karena biaya  pembuatan teras yang relatif tinggi. Demikian pula secara teknis teknologi penterasan tidak dapat diterapkan pada semua kondisi tanah, terutama pada tanah bersolum dangkal clan beibatu. Dalam prakteknya faktor-faktor di atas seringkali Input dari pertimbangan pars perencana, sehingga usaha konservasi tanah sering mengalami kegagalan. Dengan demikian faktor biaya dan kesesuaian teknologi introduksi dengan kondisi setempat merupakan variabel kunci bagi suksesnya usaha konservasi tanah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjajagi kemungkinan teknik konservasi dengan biaya yang lebih murah dibanding teknik penterasan dan sesuai dengan kondisi setempat. Salah  satunya adalah teknologi sistem budidaya lorong (alley cropping).

Alley cropping merupakan teknik konservasi vegetatif, di mana tanaman pangan ditanam pada lorong-lorong di antara pohon atau semak legum yang membentuk pagar. Menurut Haryati U (2002) dalam Mulyono (2010) Dalam pertanian sistem budidaya lorong akan terjadi interaksi yang saling menguntungkan antara tanaman pagar dengan tanaman pokok,  antara lain adalah: (a). Serasah dari tanaman pagar berperan menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah sehingga akan memperbaiki kelembaban tanah, (b). Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma (misalnya Imperata cylindrica) sehingga akan mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau, dan  (c). Tanaman pagar (khususnya dari jenis  leguminosa) dapat mengikat unsur nitrogen (N) secara biologis dari udara sehingga akan menurunkan kebutuhan pupuk nitrogen.

Ada berbagai macam tanaman yang dapat dipergunakan dalam Alley cropping, tanaman yang dipergunakan memiliki dua fungsi yaitu untuk konservasi lahan dari erosi dan penyubur lahan pertanian, maka harus memiliki ciri-ciri : (a) memiliki perakaran yang dalam, sehingga tidak menjadi pesaing bagi tanaman pangan/semusim, (b) setelah pemangkasan cepat bertunas kembali, (c) menghasilkan bahan hijauan dalam jumlah banyak dan terus menerus, sebagai sumber pupuk hijau atau pakan ternak, (d) mampu meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah dan kandungan hara lainnya.

Tanaman yang memiliki potensi pengembangan sebagai Alley cropping salah satunya adalah ki pahit / Paitan (Tithonia diversifolia ). Tanaman ini memiliki kemampuan untuk memproduksi biomassa yang sangat besar apalagi di musim penghujan, menurut Cong (2000) dalam Lestari (2016) tumbuhan Tithonia diversifolia dapat menghasilkan biomass yang tinggi, yaitu 1,752,0 kg/m /tahun. Karakter yang lain dari Tithonia diversifolia mampu tumbuh pada lahan yang miskin unsur hara, bisa tumbuh di ketinggian 2-1000mdpl, perbanyakan sangat mudah bisa dengan stek batang, dan biasanya tersebar hampir di seluruh desa sebagai tanaman liar atau gulma.

Penggunaan Tithonia diversifolia sebagai pupuk organik mempunyai beberapa keunggulan, ditinjau dari beberapa aspek: 
(1) Pemanfaatan pangkasan Tithonia diversifolia sebagai mulsa, disebarkan di permukaan tanah sebagai penutuptanah mampu mengendalikan gulma, di samping fungsi utamanya mengurangi penguapan air tanah dan mengurangi fluktua si suhu tanah. Mulsa paitan cepat mengalami dekomposisi dan haranya terdaur ulang, sehingga menambah kesuburan tanah.
(2) Pemanfaatan pangkasan Tithonia diversifolia sebagai bahan kompos. Pemberian kompos penting bagi perbaikan sifat fisik, kesuburan kimiawi (peningkatan kadar N, P, K, dan Mg tanah) dan peningkatan kehidupan biota tanah, sehingga meningkatkan kualitas tanah. 
(3) Pemanfaatan pangkasan Tithonia diversifolia sebagai pupuk hijau dan substitusi pupuk anorganik.
Thitonia diversifolia / Paitan/Kipahit
 Tithonia diversifolia memiliki ciri-ciri tanaman yang bisa dijadikan Alley cropping , hasil aplikasi pemupukan menggunakan Tithonia diversifolia  memiliki dampak nyata terhadap perbaikan kesuburan tanah. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pupuk mulai dari daun, batang dan akar. Daun Tithonia diversifolia   dapat dimanfaatkan dengan cara dikomposkan terlebih dahulu, dikeringkan atau langsung di sebarkan sebagai pupuk hijau tanpa di keringkan terlebih dahulu. Menurut Lestari (2016) Sebagai sumber pupuk organik, bagian tanaman paitan yang digunakan adalah batang atau akar. Penggunaan bagian daun paitan sebagai pupuk organik tidak dianjurkan sebelum atau saat tanam, melainkan diaplikasikan 3 MST agar tanaman muda tidak terganggu oleh sifat alelopati dari daun paitan. Ngu Yen VS et al. (2010) dalam Purwani (2010) , melaporkan terjadinya peningkatan kandungan hara pada tanah setelah ditanam Tithonia diversifolia.
Terjadi perbaikan kimia tanah dari penanaman Tithonia diversifolia, tanaman ini termasuk hijauan yang pangkasan daun serta batangnya bisa di pergunakan untuk menutup tanah, dekomposisi pangkasan tersebut memiliki pengaruh yang baik bagi perbaikan tanah. Hal ini sesuai dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014) bahwa  salah satu upaya peningkatan cadangan karbon dalam tanah yang dapat ditempuh adalah penggunaan bahan-bahan yang tersedia di lokasi setempat atau bersifat in situ. Sumber bahan organik yang potensial dapat dikelompokkan berdasarkan sumber bahan baku tersebut, yaitu sisa tanaman (jerami, brangkasan, tandan kosong sawit, kulit buah kakao, dan tempurung kelapa), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan blotong), kotoran ternak (sapi, kambing, kuda, ayam, dan babi), dan sampah kota. Sumber bahan organik tersebut sebagian dapat diaplikasikan langsung tanpa melalui poses pengomposan seperti hijauan legume (azola, flemingia, sesbania, dan mukuna) dan limbah jamur.
Tithonia diversifolia merupakan tanaman potensial yang bisa dijadikan sebagai pembenah tanah dibandingkan dengan sisa tanaman seperti jerami, kotoran ternak dan sampah kota. Kandungan hara pada paitan (Tithonia diversifolia)  lebih tinggi dibandingkan dengan kotoran ayam dan jerami padi. Disamping itu pemanfaatan bahan organik pembenah tanah selain Tithonia diversifolia memiliki kendala hasil panenan ikut terangkut keluar dari lahan pertanian untuk makanan ternak, sehingga sedikit yang bisa dimanfaatkan. Kotoran ternak terkendala jumlah dan jenis ternak yang diusahakan serta tidak semua petani memiliki ternak. Sampah kota memiliki ancaman cukup mengkhawatirkan karena banyak mengandung bahan berbahaya seperti misalnya logam berat dan asam-asam organik yang dapat mencemari lingkungan. Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini justru terkonsentrasi dalam produk akhir pupuk. Dapat dikatakan bahwa Tithonia diversifolia adalah pupuk yang mudah dan murah bagi petani di desa. Menurut Raraduma et al (2016) pupuk hijau Tithonia diversifolia bisa menjadi alternatif solusi untuk pupuk mineral yang umumnya sangat mahal dan tidak terjangkau untuk petani miskin.

Lebih lanjut menurut Nariratih dkk (2013) penggunaan bahan organik berbeda  memberikan dampak pertumbuhan yang berbeda, karena bahan organik mampu memperbaiki sifat  fisika, kimia dan biologi tanah. Dimana secara kimia bahan organik dapat meningkatkan  ketersediaan unsur hara N dan hara lainnya, sehingga semakin cepat bahan organik terdekomposisi maka semakin cepat unsur hara tersedia bagi tanaman. Hasil penelitian yang tersaji dalam tabel 3 menunjukkan penambahan Tithonia diversifolia memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan menurunkan intensitas penyakit karat dibandingkan dengan penambahan Centrosema pubescens atau perlakuan kotoran ayam secara tunggal. Hal ini menujukkan terjadi sinkroni antara ketersediaan hara dengan kebutuhan hara oleh tanaman melalui aplikasi Tithonia diversifolia.
Bentuk aplikasi Tithonia diversifolia ternyata memiliki pengaruh terhadap hasil tanaman. Dalam tabel 4 terlihat bahwa aplikasi Tithonia diversifolia secara di cacah memberikan pengaruh bagus terhadap pertumbuhan tanaman Okra (Abelmonchus esculentus) pada musim penghujan dan aplikasi dikeringkan memberikan pengaruh bagus terhadap pertumbuhan tanaman Okra (Abelmonchus esculentus ) pada musim kemarau. Selanjutnya menurut Akobundu. (1987) ; Obatolu CR et al. (1995) dalam Purwani (2010) Kenampakan tanaman yang kurus dalam pot yang diperlakukan dengan abu Tithonia diversifolia disebabkan karena menurunnya konsentrasi N pada abu, akibat penguapan yang dihasilkan dari pembakaran. Pembakaran juga menyebabkan penurunan kandungan bahan organik tanah akibat hilangnya karbon organik (C) selama pembakaran. Proses pembakaran ternyata malah menghilangkan sebagian besar hara yang terkandung dalam tumbuhan, sehingga pembakaran tidak dianjurkan untuk proses pengembalian bahan organik ke tanah.
Proses menuju pertanian yang berkelanjutan melalui pemanfaatan Tithonia diversifolia  merupakan langkah yang tepat. Penggabungan pemberian pupuk NPK dengan Tithonia Diversifolia meningkatkan produksi jagung dan selada dibandingkan dengan pupuk NPK saja (Purwani, 2010). Pada lahan yang sudah kritis tidak mungkin petani langsung meninggalkan pupuk kimia karena hasil panennya pasti akan turun. Melalui pemanfaatan Tithonia diversifolia  akan terwujud pertanian berkelanjutan dengan mengurangi input pupuk kimia secara perlahan-lahan sambil tetap memperhatikan perbaiakn kondisi kesuburan tanah dengan pengembalian bahan organik ke lahan. Penyediaannya sebagai bahan organik secara in situ melalui  alley cropping akan memacu perkembangan pemanfaatan tanaman ini mengingat sampai saat ini usaha budidaya Tithonia diversifolia belum dilakukan dan masih mengandalkan yang tumbuh liar, disamping itu penggunaannya tidak berbenturan dengan penggunaan lainnya seperti pakan ternak sehingga kemungkinan terpenuhinya bahan organik pada suatu lahan menjadi lebih pasti.

Teknik budidaya lorong (alley cropping) telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering dan lereng pegunungan untuk menggantikan pembuatan teras bertingkat, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani. Susilowati (1997) menyebutkan bahwa beberapa kendala yang selarna ini seringkali dialami dalam pengembangan teknologi konservasi alley  cropping di antaranya adalah relatif kecilnya luas lahan yang dikuasai petani, dana yang terbatas untuk melakukan teknologi tersebut, penyediaan input produksi yang sering kali belum sesuai dengan kebutuhan petani dan kurangnya  penyuluhan dan informasi dalam penyebarluasan teknologi kepada petani.

Mengatasi hal tersebut pemilihan jenis tanaman merupakan faktor utama yang harus diperhatikan, karena tanaman ini akan mengatasi masalah dalam penyediaan input produksi dan kebutuhan dana untuk melakukan teknologi. Tanaman yang memiliki produktifitas biomass tinggi, mudah perawatan dan pengembangbiakannya serta memiliki kandungan unsur hara yang tinggi adalah Tithonia diversifolia. Dalam hal penyuluhan maka penting untuk dilakukan demonstrasi plot pada lahan petani pemilik lahan, karena hasil yang dinikmati baru terasa dalam jangka panjang. Status penguasaan lahan merupakan faktor yang menentukan partisipasi petani dalam kegiatan konservasi menggunakan alley  cropping.

Lebih jauh lagi, penelitian yang dilakukan oleh Wynne Thurne dalam Mulyono (2010) bahwa pemberian biomas dalam budidaya lorong mampu meningkatkan hasil jagung secara nyata karena biomas yang sudah terdekomposisi  akan mengikat aluminium (Al) tanah menjadi  senyawa khelat yang kompleks sehingga tidak meracuni tanaman. Dampak dari kasus ini adalah mengurangi kebutuhan kapur dalam jumlah banyak, dimana fungsi kapur akan menetralkan tanah yang bisa digantikan dengan biomas yang diperoleh dari  hasil  pangkasan tanaman pagar. Dengan demikian pertanian budidaya lorong (Alley cropping) ini sangat efektif untuk konservasi lahan, seperti: mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan.

Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar secara rapat dengan jarak tanam 10-25cm tergantung pada jenis tanaman pagarnya dan ditanam menurut kontur.  Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar. Menurut Anonim (2007) dalam Mulyono (2010) Dalam waktu yang relatif tidak lama sekitar tiga sampai empat tahun sejak tanaman pagar ditanam biasanya telah terbentuk teras secara alami sehingga teras jenis ini sering disebut sebagai teras kredit yang berguna dalam menahan erosi tanah.

Berikut ini adalah contoh Budidaya lorong dengan keunggulannya dalam mengendalikan erosi. Teknologi ini cukup efektif mengendalikan erosi, dan dapat meningkatkan serta mempertahankan produktivitas tanah. (Arinong, 2012).
konsep budidaya lorong (Alley cropping)
Keterangan :
  1. Serasah hasil pangkasan atau guguran daun
  2. Tumpukan tanah yang tersaring
  3. Permukaan tanah asli
1. Serasah di atas permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan butir-butir hujan dan menahan laju erosi;
2. Legum dipangkas tiap 1-2 bulan, hasil pangkasan (bahan hijau) dapat digunakan untuk pupuk, atau pakan ternak, sedangkan ranting-rantingnya untuk kayu bakar;
3. Bahan hijau yang telah melapuk akan memberikan tambahan unsur hara dan C-organik, yang akan diserap tanaman utama atau;
4.  Hara tersebut sebagaian akan tercuci/terperkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam;
5.  Perakaran tanaman legum dapat menyerap hara dari lapisan tanah yang lebih dalam;
6.Tanaman legum dengan bintil akarnya dapat memperbaiki kandungan nitrogen tanah;
7. Limbah tanaman utama dapat dikembalikan ke lahan usahatani atau untuk pakan ternak.

Pengembangan budidaya tanaman dengan memanfaatkan pupuk hijau dari tanaman pagar melalui proses mengembalikan kesuburan tanah secara in situ akan meningkatkan pendapatan petani karena biaya produksi bisa ditekan dengan semakin berkurangnya pemakaian pupuk kimia secara bertahap. Cara ini juga membuat petani semakin mandiri untuk tidak tergantung dengan pupuk subsidi yang terkadang mengalami kelangkaan pada beberapa daerah. Penggunaan Tithonia diversifolia yang merupakan bahan organik potensional mudah ditemukan di desa-desa sebagai tanaman liar dan tumbuh di lereng-lereng bukit atau pinggir jalan dapat menjadi bahan organik utama atau bahan pelengkap bagi bahan organik dari kotoran ternak, sehingga petani tidak akan terhambat dalam penenuhan bahan organik di lahan akibat ketersedian yang terbatas pada kotoran ternak.

KESIMPULAN :
Untuk memperoleh produktivitas hasil pertanian yang optimal dibutuhkan C-organik >2,5%. Kebiasaan petani mengelola lahan sawah dengan memasukkan input kimia dalam bentuk pupuk dan pestisida secara berlebihan tanpa diimbangi penambahan bahan organik menjadikan tanah semakin terdegradasi hingga kandungan C organiknya < 1%. Di lain sisi Indonesia sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah,  terutama Tithonia diversifolia tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Tithonia diversifolia adalah tanaman termasuk dalam hijauan yang pangkasan daun serta batangnya bisa di pergunakan untuk menutup tanah, dekomposisi pangkasan tersebut memiliki pengaruh yang baik bagi perbaikan tanah. Proses dekomposisi yang cepat pada Tithonia diversifolia maka semakin cepat unsur hara tersedia bagi tanaman, menujukkan terjadi sinkroni antara ketersediaan hara dengan kebutuhan hara oleh tanaman. Aplikasi yang memberikan hasil terbaik adalah dengan cacahan daun segar atau dikeringkan dan disebar secara merata di lahan.

Penyediaannya sebagai bahan organik secara in situ melalui  alley cropping akan memacu perkembangan pemanfaatan Tithonia diversifolia sehingga kemungkinan terpenuhinya bahan organik pada suatu lahan menjadi lebih pasti. Bahan organik merupakan salah satu faktor pembatas yang sangat berperan  untuk menambah hara dan sebagai penyangga hara. Penambahan bahan organik dapat meningkatkan daya menahan air tanah, mempertahakan kualitas sifat fisik tanah sehingga membantu perkembangan perakaran tanaman dan penyediaan energi bagi berlangsungnya aktivitas organisme.

Pengembangan budidaya tanaman dengan memanfaatkan pupuk hijau dari tanaman pagar melalui proses mengembalikan kesuburan tanah secara in situ akan meningkatkan pendapatan petani karena biaya produksi bisa ditekan dengan semakin berkurangnya pemakaian pupuk kimia secara bertahap. Pertanian budidaya lorong (Alley cropping) ini sangat efektif untuk konservasi lahan, seperti: mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan yang berdampak pada pendapatan petani di desa.



Daftar Pustaka


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014 Konservasi Tanah menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2006. Pupuk Organik Dan Pupuk Hayati : organik fertilizer and biofertilizer. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Hartati, Sri., Jauhari Syamsiah dan Elen Erniasita. 2014. Imbangan Paitan (Tithonia diversifolia) Dan Pupuk Phonska Terhadap Kandungan Logam Berat Cr Pada Tanah Sawah. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 11 (1) 21-28.

Herdiyanto, D. dan Setiawan, A. 2015. Upaya Peningkatan Kualitas Tanah Melalui Sosialisasi Pupuk Hayati, Pupuk Organik, Dan Olah Tanah Konservasi Di Desa Sukamanah Dan Desa  Nanggerang  Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya  . Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat Vol. 4, No. 1, (47 – 53).

Hutapea, Johnny Ria. DR, dkk. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Hutomo, Irfan Priyo., Mahfudz dan Syamsuddin Laude. 2015. Pengaruh Pupuk Hijau Tithonia diversifolia Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.). e-J. Agrotekbis 3 (4) : 475-481.

Juarsah, Ishak. 2014. Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Pertanian Organik dan Lingkungan Berkelanjutan. Tersedia di http://balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/10/16-Ishak-Pemanfaatan-Pupuk-Organik-Berkelanjutan.pdf [02/01/2019].

Lestari, Sri Ayu Dwi. 2016. Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) Sebagai Pupuk Organik Pada Tanaman Kedelai. Iptek Tanaman Pangan Vol 11 No 1 (49-56).

Mulyono, Daru. 2010. Pengembangan Pertanian Budidaya Lorong (Alley Cropping) Untuk Konservasi Lahan Kritis  Di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, Jawa Barat. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol 11 No 2 (283-291).

Nariratih, Intan., MMB Damanik dan Gantar Sitanggang. 2013. Ketersediaan Nitrogen Pada Tiga Jenis Tanah Akibat Pemberian Tiga Bahan Organik Dan Serapannya Pada Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.3, 479-488.

Nurrohman, Endrik., Abdulkadir Rahardjanto dan Sri Wahyuni. (2018). Studi Hubungan Keanekaragaman Makrofauna Tanah dengan Kandungan C-Organik dan Organophosfat Tanah di Perkebunan Cokelat (Theobroma cacao L.) Kalibaru Banyuwangi. Jurnal Bioeksperimen. Vol. 4 (1) Pp. 1-10.

Pangaribuan, Darwin H., Niar Nurmauli dan Sarno. 2016. Penyuluhan dan Demplot Teknologi Pertanian Organik Dengan Demonstrasi Aplikasi Pupuk Organik Cair dan Biopestisida Di Desa Braja Caka Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 22 No. 3 (88-95).

Purwani, J. 2010.  Pemanfaatan Tithonia diversifolia (Hamsley) A Gray untuk Perbaikan Tanah. Tersedia di http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/prosidingsemnas2010/jati.pdf?secure=true [03/01/2019].

Raraduma, Capitoline et al. 2016. Tithonia diversifolia, Potential Alternative Solution to the Lack and High Cost of Fertilizers for Common bean Production : Case of Moso Region of Burundi. Tersedia di http://www.pabra-africa.org/wp-content/uploads/dlm_uploads/2016/03/Tithonia-diversifolia-Potential-Alternative-Solution-to-the-Lack-and-High-Cost-of-Fertilizers-for-Common-bean-Production-Case-of-Moso-Region-in-Burundi-Ruraduma-et-al-ISABU.pdf [02/01/2019].

Sukmawati . 2015.Analisis Ketersediaan C-Organik Di Lahan Kering Setelah Diterapkan Berbagai Model Sistem Pertanian Hedgerow. Jurnal Galung Tropika, 4 (2) hlmn. 115-120.

Susilowati, Sri Hery., Gelar Satya Budhi, dan I Wayan Rusastra . Kinerja Dan Perspektif Usahatani Konservasi Alley Cropping Di Indonesia . FAE. Vol. 15 No. 1 & 2 (1-16).

Yuhaeni, S., dkk . 1997 . Pertanaman Lorong (Alley Cropping) Leguminosa Dengan Rumput Pakan Temak : Pengaruh Jenis Rumput Dan Jarak Larikan Glirisidia Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Hijauan Pakan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2 (4) : 242-249 .