9:37 AM Add Comment

Nasib Petani Kita

Saya pernah mendengar ternyata nasib itu berbeda dengan takdir, nasib dapat dirubah sedangkan takdir tidak dapat dirubah. Takdir berjalan sesuai dengan apa yang digariskan Tuhan Yang Maha Esa. Kematian dan jodoh katanya termasuk dalam takdir, tapi apakah kita harus terdiam tanpa usaha karena sudah pasti takdir tidak dapat dirubah. Hmmm pertanyaan yang sulit saya jawab..
Dunia pertanian juga mengenal takdir dan nasib, petani sebenarnya sudah paham betul mengenai nasib dan takdir tersebut. Hidup susah dikatakan ‘nasib petani ya begini’, kemarau panjang dikatakan takdir. Jika nasib dapat dirubah maka petani bisa hidup senang, jika takdir tidak dapat dirubah maka paceklik datang dan tidak ada yang dapat berbuat apa-apa. Tetapi jika petani yang hidup susah tersebut hidup di lokasi yang lahan pertaniannya mengalami kemarau panjang apakah kehidupan susah yang sedang dihadapi termasuk takdir?Membingungkan bukan!!
Waktu saya hanya mengamati kehidupan petani saya tidak merasa kebingungan, takdir ya takdir nasib ya nasib. Tetapi ketika berada di kehidupan petani tersebut saya kebingungan, seperti tak ada upaya untuk membuat suatu takdir menjadi nasib. Memang menilai lebih mudah daripada mengerjakan. Ada suatu pemikiran dalam diri saya bahwa apapun itu sekalipun dikatakan takdir kita wajib berusaha untuk mendapatkan yang terbaik, tidak boleh menyerah dengan keadaan yang sedang dihadapi. Kegagalan dan kesuksesan usahatani tidak ditentukan oleh cuaca atau iklim tetapi bagamana usaha kita memanipulasi alam. Ketika wacana mengenai iklim yang tidak mendukung akan mengakibatkan kegagalan panen atau kesulitan pengelolaan pasca panen digunakan sebagai pegangan petani, maka yang ada dalam benak petani adalah “lumprah” sudah semestinya seperti itu, tak ada yang dapat diperbuat. Terus kapan petani kita akan hidup senang??!.
Petani harus memiliki suatu pandangan yang terbuka, tidak hanya tertutup pada hal tersebut saja, sehingga ketika dikatakan itu takdir maka yang ada hanya kata-kata pasrah. Pada saat penelitian skipsi, saya menemui banyak sekali petani dengan pribadi yang bermacam-macam ada yang benar-benar mengenal usahataninya bahkan mungkin kepandaian dalam berusahataninya melebihi seorang ahli pertanaman, ada pula yang hanya melakukan hal-hal yang dianggap paling mudah dan menghasilkan. Tetapi pada saat terbentur dengan keadaan alam yang ada jawabannya sama “sudah takdir, ya pasrah saja”. Memang alam tidak dapat di prediksi, kita hanya bisa memanipulasinya, dan ketika usaha yang dilakukan dirasakan sudah maksimal yang ada hanya pasrah. Saya tidak dapat menyalahkan hal tersebut karena ketika saya berada di dalam kondisi petani tersebut saya juga kebingungan.
Kata-kata takdir sebenarnya harus dihilangkan dalam benak dan fikiran petani, agar petani selalu berusaha tanpa mengenal yang namanya maksimal. Semua yang dilakukan akan memberikan hasil. Tak ada lahan pertanian yang dibiarkan saja akan memberikan gabah, jagung, kedelai, dst. Tetapi perlu usaha untuk mendapatkan hasil tersebut. Dinas-dinas pertanian, penyuluh pertanian, dan pihak-pihak terkait lannya harusnya menanamkan hal tersebut pada petani. Kegiatan pengabdian yang dilakukan harus benar-benar mengacu pada para petani. Tetapi ketika dilihat sekarang kegiatan-kegiatan pelayanan kebanyakan malah mengacu pada masyarakat luas, kepentingan nasional. Bagaimana tidak petani bekerja menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan semua penduduk nasional maupun internasional tetapi dilihat lebih jauh keadaan ekonominya tetap saja tidak baik. Tak peduli petani penggarap, penyewa, maupuan buruh tani semua mengalami nasib yang sama, dengan demikian petani lebih tepat disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Pengorbanan yang dilakukan untuk semua penduduk, bukan hanya untuk dirinya sedangkan dirinya sendiri tetap mengalami kesusahan.
Program-program pemerintah seperti pada proyek “revolusi hijau” yang berupa pemberian benih unggul, pestisida atau zat perangsang pertumbuhan, dan pupuk kimia. Kebanyakan hanya menguntungkan masyarakat luas, karena proyek “revolusi hijau” pada intinya merupakan tanggapan dari pertambahan penduduk yang semakin banyak. Melalui program intensifikasi produksi tanaman pangan terutama padi akan semakin tinggi, yang diperlukan hanya pemasukan input secara besar-besaran. Tanpa diketahui petani, mungkin karena pada saat itu program tersebut di sosialisasikan dengan paksaan sehingga mau tidak mau petani harus menjalankannya. Petani sekarang mengalami kerugian yang besar, benih padi hibrida harus selalu dibeli ketika musim tanam tiba, pestisida dan pupuk kimia juga harus dibeli pada saat pemeliharaan tanaman. Ada anggaran yang dikhususkan untuk hal-hal tersebut, tetapi ketika tidak ada anggaran terpaksa petani hutang entah itu pada tetangga atau pada toko-toko saprodi. Segala usaha yang dilakukan petani tersebut adalah untuk masayarakat luas. Petani memang pahlawan tanpa tanda jasa.
Pada jaman dahulu petani menerapkan cara bertani secara organik, memang jika dihitung hasil produksinya lebih rendah jika dibandingkan dengan sekarang. Tetapi ini merupakan kenyataan yang juga menggelitik bagi saya, dulu anak seoranng petani tidak mau sekolah atau jarang ada yang sekolah karena memang penghasilan petani jaman dulu sangat besar dapat dikatakan dengan bertani orang akan hidup makmur, pangan tercukupi hasil pertanian yang dijual memberikan pendapatan yang tinggi walaupuan hasil produksinya lebih rendah dibandingkan sekarang per satuan luas lahan yang sama. Apa yang terjadi dengan keadaan sekarang?Petani seperti seorang veteran perang, sangat berjasa tetapi dialah korban. Yang tidak berperang meniti karir hingga menjadi orang sukses tetapi yang berperang ya sampai kapanpun akan terus berkorban. Hanya mendapat gelar pahlawan.
Dahulu petani menanam varietas lokal, sehingga setelah panen hail dari panen dapat di gunakan untuk benih yang selanjutnya dibibitkan, sekarang varietas lokal tersebut telah tiada, petani telah lama menggunakan varietas padi hibrida. Sebenarnya tidak hanya pada padi, varietas lokal yang lain juga ikut hilang seperti jagung, kacang, kedelai, dll. Saya pernah membaca buku ada seorang petani yang dapat menemukan varietas baru melalui penyilangan beberapa varietas lokal. Tetapi pada akhirnya petani tersebut dipenjara karena ada perusahaan yang tersaingi dengan hasil persilangannya. Andai saja varietas lokal itu masih ada pasti akan memunculkan berbagai usaha dari petani untuk mendapatkan nasib yang baik melalui penemuan varietas-varietas baru yang tentunya lebih berabeka ragam dan telah sesuai dengan kondisi lingkungan usahatani setempat. Andai saja!!
Pupuk yang digunakan juga pupuk organik yang berasal dari ternak maupun sisa tanaman yang dimanfaatkan sebagai pupuk kompos, pengendalian hama penyakit menggunakan pestisida nabati, musuh alami, dan memanipulasi keadaan alam. Melihat kondisi sekarang petani kita seperti di bodohi. Saya pernah membaca buku bahwa petani itu lebih pandai dibandingkan dengan petugas-petugas pertanian yang terjun ke lapang, karena mereka lebih mengenal alam yang mereka gunakan untuk kegiatan usahatani. Petani memang pandai tetapi dibodohi, hal tersebutlah yang menjadikan mereka tetap tergantung dengan pihak lain. Petani masih menggantungkan pada subsidi entah itu subsidi benih, pupuk maupun pestisida pertanian. Sampai kapan hal ini akan terjadi?? Sudah saatnya nasib petani benar-benar diperhatikan, jangan hanya memperhatikan nasib masayarakat secara umum. Jika usaha dibidang pertanian pada suatu saat dipandang sudah tidak menguntungkan siapa yang akan menjadi petani?! Ini harusnya telah menjadi perhatian yang khusus bagi semua pihak yang terjun di dunia pertanian. Di setiap perkuliahan di katakan bahwa petani sekarang kebanyakan orang tua-tua, tidak ada petani yang berumur muda karena petani sendiri tidak menginkan anak-anak mereka hanya menjadi petani. Pada saat kegiatan di lapang hal tersebut yang juga saya temui, banyak petani yang mengatakan bahwa menjadi petani itu “rekoso” hasilnya sedikit. Jika hal tersebut telah tertanam di benak dan fikiran petani, yang akan bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan pangan selanjutnya siapa??karena tidak ada yang berminat lagi dengan dunia pertanian atau menjadi petani kecuali orang yang memiliki modal-modal besar.
Wacana pertanian organik saya pandang sebagai wacana yang sangat bagus. Bagus karena kearifan lokal petani mulai ditumbuhkan kembali. Petani mencintai alam yang memberikan kemakmuran bagi mereka. Petani dapat mengusahakan sendiri faktor-faktor produksi melalu pemanfaatan peluang yang ada di sekitar lokasi uasahatani. Akan tetapi seperti yang telah saya katakan petani sekarang itu lebih banyak dibodohi, petani akan terus tergantung dengan pihak luar padahal sebenarnya mereka bisa mandiri. Contohnya adalah pada saat saya jalan-jalan memasuki wilayah lahan peratanian di desa-desa di daerah saya, tanpa sengaja saya membaca suatu plakat yang di tancapkan pada lahan pertanian seorang petani yang bertuliskan sponsor pupuk organik cair. Lahan tersebut digunakan sebagai lahan percontohan penggunaan pupuk organik cair buatan perusahaan. Tanamannya bagus tidak kalah dengan tanaman-tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Tetapi jika di fikirkan lebih dalam apakah petani tidak bisa membuat pupuk semacam itu?!Kenapa harus menggantungkan dengan pihak lain yang pada akhirnya petani akan membeli pupuk tersebut karena adanya rasa tertarik setelah kontrak sponsor selesai. Konsep pertanian organik jika semacam itu tidak jauh beda dengan pertanian konvensional yang dulu pernah disosialisasikan dan hingga kini masih diterapkan oleh sebagian besar petani. Harusnya ada suatu pelayanan kepada masyarakat petani yang berupa pengabdian dengan sepenuh hati oleh petugas-petugas pertanian di lapang. Menjalin kerjasama penting tetapi jangan sampai menimbulkan suatu ketergantungan, jika menimbulkan ketergantungan maka pertanian organik ini merupakan ajang bisnis perusahaan-perusahaan pertanian dan yang menjadi korban lagi adalah petani. Hal tersebut mungkin belum mendapat perhatian khusus oleh petugas-petugas pertanian di lapang. Perhatiannya adalah mendapatkan keuntungan melalui kerjasama, tetapi sebenarnya siapa yang lebih untung jika petani menjadi tergantung dengan pihak lain jika bukan perusahaan pupuk organik tersebut.
Pertanian organik harusnya mampu meningkatkan kesejahteraan petani karena petani dapat berusaha menjadi mandiri apalagi jika benih yang digunakan juga benih varietas lokal. Walaupun hasilnya rendah tetapi hasil tersebut dapat ditutup dengan diversifikasi pangan. Peranan para petugas pertanian di lapang adalah membimbing agar petani benar-benar mampu memanfaatkan peluang yang ada disekitar mereka dan mengurangi bahkan meniadakan ketergantungan dengan pihak lain, sehingga petani dapat mandiri. Kemandirian petani inilah yang akan memabawa petani pada berbagai usaha untuk mendapatkan nasib yang baik dari kegiatan usahatani yang dilakukannya tanpa mengenal kata maksimal.
Kerjasama dengan pihal luar atau perusahaan pertanian tetap harus dijalin tetapi petani juga tetap diberi pengarahan agar pemikiran mereka terbuka, bahwa kerjasama yang dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan jangan sampai malah merugikan dan menciptakan ketergantungan. Selain itu persepsi atau pandangan petani harus dirubah dari yang hanya mencari mudahnya saja menjadi petani yang memiliki pemikiran kritis terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi. Saya pernah mendengar cerita teman saya yang mengikuti pertemuan kelompok tani, pada saat pertemuan tersebut ada petani yang menceritakan permasalahan hama dan penyakit tanaman yang sedang menyerang tanamannya, kemudian petugas pertanian lapang (penyuluh) menjelaskan mengenai penyakit tersebut kepada petani muali dari gejala, sebabnya, dll. Belum selesai penjelasan yang diberikan petugas penyuluh, petani tersebut langsung memotong pembicaraan dengan mengatakan “obate nopo, regane piro ngoten mawon Pak, kula tumbase!” (obatnya apa, harganya berapa gitu saja Pak, nanti saya beli!). Petani yang hanya mengingkan suatu kemudahan seperti itu harus dirubah pandangannya. Jangan sampai petani hanya dibodohi terus-terusan dan petani tidak menyadari keadaanya sendiri.Petani adalah petani, tidak ada pekerjaan yang lebih berjasa dibandingkan pekerjaan mereka. Tak ada orang yang bisa hidup tanpa makan..Jangan sampai kita sebagai orang-orang pertanian membiarkan petani berada dalam keadaan yang selalu dibodohi, dan petani juga harus selalu berfikir terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Tidak ada takdir jika ingin mendapatkan keberhasilan dalam berusahatani, semua adalah nasib yang harus diperjuangkan.. Itu yang dapat saya sampaikan dan JAYALAH PERTANIAN INDONESIA :)