tanaman jagung siap panen |
Pada saat penanaman
jagung di lahan, produksi yang maksimal merupakan tujuan uatamanya ditandai
dengan hasil dari ubinan. Hal tersebut berbeda ketika penangan panen dan pasca
panen, bukan hanya produksi tinggi yang menjadi tujuannya, tetapi juga mutu maksimal. Walaupun
produksinya tinggi, tetapi dalam penanganan panen
dan pasca panen kurang tepat, maka mutu biji
jagung akan kurang baik sehingga akan berpengaruh terhadap harga jual.
Penyataan
tersebut juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh (Firmansyah, dkk., 2007)
jagung mempunyai banyak permasalahan pascapanen yang apabila tidak tertangani
dengan baik akan menimbulkan kerusakan dan kehilangan. Permasalahan antara lain
adalah :
1.
Susut
Kuantitas dan Mutu. Kehilangan hasil jagung pada pascapanen dapat berupa
kehilangan kuantitatif dan kualitatif. Kehilangan kuantitatif merupakan susut
hasil akibat tertinggal di lapang waktu
panen, tercecer saat pengangkutan, atau tidak terpipil. Kehilangan kualitatif
merupakan penurunan mutu hasil akibat butir rusak, butir berkecambah, atau biji
keriput selama proses pengeringan, pemipilan, pengangkutan atau penyimpanan.
2.
Keamanan
Pangan. Penundaan penanganan pascapanen jagung berpeluang meningkatkan infeksi
cendawan. Penundaan pengeringan paling besar kontribusinya dalam meningkatkan
infeksi cendawan Aspergillus flavus
yang bisa mencapai di atas 50%. Cendawan tersebut menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin yang bersifat mutagen dan diduga dapat menyebabkan
kanker esofagus pada manusia (Weibe
and Bjeldanes 1981). Toksin yang dikeluarkan oleh cendawan tersebut juga
berbahaya bagi kesehatan ternak. Salah satu cara pencegahannya adalah
mengetahui secara dini kandungan mikotoksin pada biji jagung.
3.
Ketersediaan
Sarana Prosesing. Permasalahan lain dalam penanganan pascapanen jagung di
tingkat petani adalah tidak tersedianya sarana prosesing yang memadai, padahal
petani umumnya memanen jagung pada musim hujan dengan kadar air biji di atas
35%. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi prosesing yang tepat, baik
dari segi peralatan maupun sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu Penanganan
pascapanen merupakan upaya yang sangat strategis dalam rangka mendukung
ketahanan pangan nasional karena mempunyai peranan yang cukup besar baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam
meningkatkan kuantitas maupun kualitas hasil pertanian. Secara langsung,
penanganan pascapanen memiliki peranan dalam menekan kehilangan hasil,
memperbaiki mutu hasil dan meningkatkan nilai tambah, daya saing serta
pendapatan petani (Departemen Pertanian, 2011).
Panen jagung dapat dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
1.
Ketika
tongkol sudah mulai berisi, daun di bawah tongkol
dapat diambil dan dimanfaatkan untuk pakan sapi atau dikomposkan untuk
mengurangi sumber inoculum penyakit
bercak dan hawar daun yang kemudian dimanfaatkan sebagai salah satu sumber
pupuk organik. Sebelum tongkol dipanen, kegiatan bisa dilanjutkan dengan
pemangkasan bagian tanaman di atas tongkol untuk menurunkan kadar air tongkol
dan pangkasan ini juga dapat digunakan sebagai pakan ternak atau sumber pupuk
organik. Seresah jagung memiliki kandungan P dan K yang relative tinggi.
Tongkol
jagung dipanen apabila telah mencapai masak fisiologis yang ditandai dengan
mengeringnya kelobot atau berwarna coklat. Selain kadar air yang telah mencapai
kurang lebih 30% yang ditandai dengan biji telah mengeras dan telah terbentuk
lapisan hitam minimum 50% di setiap barisan biji. Pemanenan dilakukan pada
konsisi cerah untuk menghindari infeksi cendawan paska panen seperti Aspergillus flapus. Darwis (2018) juga menjelaskan ciri-ciri jagung yang siap
panen secara visual bila : (a) batang, daun dan kelobot
berubah menjadi kuning atau telah mengering, (b) klobot kering berwarna kuning dan bila
dikupas biji mengkilap, (c)
bila biji ditekan dengan kuku tidak berbekas dan (d) terdapat bintik hitam
pada bagian biji yang melekat pada tongkol.
Waktu pemanenan menjadi penting karena:
a) Waktu panen menentukan mutu biji jagung.
Pemanenan yang terlalu awal menyebabkan banyaknya butir muda sehingga kualitas
dan daya simpan biji rendah. Sebaliknya, pemanenan yang terlambat menyebabkan penurunan
kualitas dan peningkatan kehilangan hasil akibat cuaca yang tidak menguntungkan
atau serangan hama dan penyakit di lapang.
b) Penggunaan
jagung sebagai pakan ternak
dapat menimbulkan masalah, jika proses pengeringan dan penanganan pasca panen
tidak dilakukan dengan baik. Pada saat dipanen jagung masing mengandung air
yang cukup tinggi, sekitar 30-40 % dan jamur akan mudah berkembang biak,
sehingga jagung sering terkontaminasi oleh mikotoksin dan/atau terjadi proses
perombakan lemak. Hal ini akan diperparah oleh kondisi cuaca yang kurang baik
pada saat panen dan serangan hama yang terjadi selama proses pemeliharaan.
Disamping palatabilitasnya menurun, jagung yang terkontaminasi dengan jamur
mengandung mikotoksin, sehingga berpengaruh negatif terhadap produktivitas
ternak dan keamanan produk ternak sebagai bahan pangan untuk manusia (Khalil
dan S. Anwar, 2006).
2.
Tahap
berikutnya adalah penjemuran tongkol
sampai kadar air biji mencapai kurang lebih 20% dan dipipil dengan menggunakan
alat pemipil. Biji pipillan ini kembali dijemur sampai kadar air sekitar 14%.
Bila kondisi cuaca terus mendung sehingga tidak memungkinkan untuk menurunkan
kadar air biji, maka untuk mempercepat pengeringan bisa digunakan alsin
pengerin. Alsin pengering bertipe flat blade yang berbahan bakar minyak tanah/
solar bisa digunakan. Tetapi menurut
penelitian dari Khalil dan S. Anwar (2006) proses pengeringan jagung
secara alami dengan menggunakan sinar matahari masih lebih layak jika
dibandingkan dengan menggunakan alat pengering buatan, karena lebih praktis dan
biaya lebih murah.
Pengeringan adalah upaya untuk menurunkan
kadar air biji jagung agar aman disimpan. Kadar air biji yang aman untuk
disimpan berkisar antara 12-14%. Pada saat jagung dikeringkan terjadi proses
penguapan air pada biji karena adanya panas dari media pengering, sehingga uap
air akan lepas dari permukaan biji jagung ke ruangan di sekeliling tempat
pengering (Brooker et al. 1974) dalam Firmansyah, dkk ( 2007).
Menurut Prastowo dkk ( 1998) cara penjemuran jagung yang
umum dilakukan petani adalah:
a)
Dikeringkan
langsung bersama tongkol setelah panen;
b)
Dikeringkan
setelah dirontok atau dipisahkan dari janggel;
c) Tongkol
dikupas dan dikeringkan terlebih dahulu selama dua hari untuk mencapai kadar
air <20%, dirontok, kemudian dikeringkan lagi;
d) Penundaan
pengeringan dan jagung langsung dikarungkan, disimpan 1-2 hari, dipipil dan
dijual;
e)
Tanpa
dikeringkan.
Pengeringan langsung di lapang dengan
membiarkan tongkol tetap pada tanaman selama 7-14 hari. Cara ini sudah
dilakukan oleh banyak petani yang menanam jagung hibrida (tinggi tongkol dari
permukaan tanah seragam), khususnya pertanaman musim kemarau. Pengeringan
dengan cara ini dapat menurunkan kadar air biji sampai 18%.
Parameter
kualitas
jagung yang telah dikering didasarkan pada: warna, kekerasan bagian lembaga dan
kontaminasi jamur. Jagung yang dipanen pada umur yang tepat dan mengalami
proses pengeringann yang memadai akan terlihat berwarna cerah, tidak
terkontaminasi jamur serta bagian lembaganya (ujung butiran) terasa keras jika
ditekan (Khalil dan S. Anwar, 2006). Setelah kering biji jagung
yang dianggap baik harus dipisahkan sisa-sisa tongkol, biji kecil, biji pecah,
biji hampa, kotoran lainnya yang terbawa sewaktu panen dan pemipilan. Hal ini
penting untuk menekan serangan cendawan dan hama serta memperbaiki sirkulasi
udara di penyimpanan. Menurut Adiputra(2020)
Kadar air jagung pada saat dipipil berpengaruh terhadap
butir utuh, butir pecah, dan kotoran, terutama pada saat pemipilan dengan mesin
pemipil (corn sheller). Makin rendah kadar air makin tinggi presentase butir
utuh, dan makin tinggi presentase kotoran.
3.
Untuk
biji yang akan digunakan sebagai sumber benih
diperlukan benih yang memiliki ukuran yang relative sama. Oleh karena itu pemisahan harus
didasarkan pada ukuran biji. Biji yang sama ini penting terutama untuk
penanaman yang menggunakan mesin penanam. Proses pemisahan biji jagung dengan
kotoran bisa dilakukan dengan cara ditapi seperti yang dilakukan pada padi.
Daftar
Pustaka
Adiputra, Rachmat. 2020. Evaluasi
Penanganan Pasca Panen Yang Baik Pada Jagung (Zea mays L). Jurnal Agrowiralodra. V o l u m e 3 , N o m o r 1 23-28
Darwis, Valeriana.
2018. Potensi Kehilangan Hasil Panen Dan
Pasca Panen Jagung Di Kabupaten Lampung Selatan. Journal
of Food System and Agribusiness Vol. 2 (1): 55-67
Departemen
Pertanian. (2011). Teknologi Pascapanen
Jagung dan Serealia Lain Tahun 2011.http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/T
eknologi%20PP%20jagung.pdf. (14 Mei 2021).
Firmansyah
I. U, M. Aqil, dan Yamin Sinuseng. (2007). Penanganan
Pascapanen Jagung. http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2016/11/duasatu.pdf.
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. (14 Mei 2021).
Khalil
dan S. Anwar. 2006. Penanganan
Pascapanen dan Kualitas Jagung sebagai Bahan Pakan di Kabupaten Pasaman Barat. Jurnal
Peternakan Indonesia., 11(1):36-45.
Prastowo, B,. I G.P. Sarasutha, T.M. Lando, Zubachtirodin,
B. Abidin, dan R.H. Anasiru. 1998. Rekayasa
Teknologi Mekanis Untuk Budi Daya Tanaman Jagung Dan Upaya Pascapanennya Pada
Lahan Tadah Hujan. Jurnal Engineering
Pertanian 5(2):39-62.
Silahkan memberi komentar yang membangun EmoticonEmoticon