pemanenan dengan tradisional, menyebabkan hasil panen banyak yang hilang |
Permasalahan yang dihadapi dalam
peningkatan produksi tidak hanya sebatas pada budidaya tanaman, tetapi juga
proses pada saat pemanenan. Pada saaat pemanenan padi jika dikaji lebih dalam
kita masih memiliki permasalahan yang sangat besar dalam mengurangi kehilangan
hasil. Jika di hitung secara komulatif, semisal satu petani kehilangan hasil
1Kg GKP maka jika jumlah petani ada 1.000 orang maka kehilangan hasilnya
mencapai 1.000Kg atau 1 ton GKP, dan dalam hitungan uang 1.000xRp.3.700 (harga
GKP Bulog) = Rp.3.700.000. Jumlah yang cukup besar tetapi kita tidak
menyadarinya.
Memang tidak semudah itu mengatakan
bahwa perhitungannya kita mengalami banyak kerugian, karena kehilangan hasil
setiap petani beragam. Mungkin ada petani yang tidak mengalami kehilangan hasil
sehingga perhitungan saya tadi salah, tetapi coba lihat kondisi nyata di
lapangan sering kita melihat ibu-ibu kalau di daerah saya namanya “derep” yang
pekerjaannya mencari gabah dari jerami, jadi setelah padi di “erek” atau
dirontokkan jeraminya kan di buang, nah ibu-ibu ini mencari sisa gabah dari
jerami tersebut. Ternyata bisa mendapatkan ½ karung bahkan sampai 1 karung
gabah dengan berat rata-rata 20Kg-40Kg, memang belum di ketahui apakah gabahnya
hampa atau semua berisi tetapi hal yang pasti bahwa ibu-ibu tersebut
mendapatkan gabah dari kegiatan tersebut dan merupakan pekerjaannya. Jika dari
kegiatan tersebut tidak memperoleh penghasilan tentu saja tidak mungkin akan
berlanjut. Dengan demikian berati petani tetap bisa kehilangan hasil panen.
Perhitungan satu orang petani tidak akan
terasa, tetapi jika dihitung dengan banyaknya petani yang kehilangan hasil
panen maka jumlahnya akan sangat besar. Inilah yang merupakan permasalahan yang
harus segera diselesaikan tidak hanya sebatas menggunakan alat-alat yang modern
pada saat pemanenan untuk menekan kehilangan hasil, yang mana petani sebagain
besar tidak bisa mengakses atau memilikinya bahkan petani malah bisa dirugikan
karena biasanya alat panen modern hanya dimiliki oleh tengkulak (pengepul).
Dibutuhkan pendampingan baik itu oleh pemerintah dalam hal ini adalah penyuluh
pertanian maupun swasta melalui LSM atau mahasiswa, pendampingan yang dilakukan
adalah mulai dari perencanaan budidaya hingga pasca panen dan pemasaran.
Melalui kegiatan pendampingan secara
intensif kita bisa menekan kehilangan hasil panen, hakikat dari pendampingan
ini adalah kesetaraan sehingga pendamping harus bisa menjadi bagian dari petani
itu sendiri, bukan sumber dari segala sumber pengetahuan yang mana biasanya
komunikasi hanya bersifat satu arah, sifat komunikasi satu arah ini adalah
tidak ada yang benar keculai dari sumber itu berasal. Sedangkan komunikasi yang
bersifat dua arah kan menciptakan kondisi belajar, petani mencoba menganalisa
permasalahan sendiri pendamping sebagai fasilitator dan penyelesaian masalah
dilakukan sendiri. Dengan demikian maka konsep dari kegiatan penyuluhan
(memberikan penerangan) agar petani menjadi tahu mau dan mampu telah
terlaksana. Petani akan menjadi sadar, kemudian pada tahap-tahap selanjutnya
sesuai dengan tahapan adopsi inovasi petani akan memiliki minat kemudian
menilai, mencoba dan menerapkan secara terus-menerus.
Proses yang saya sampaikan tersebut
tentu saja tidak akan terjadi dengan instan, tetapi membutuhkan ketelatenan dan
keuletan dari pendamping dan waktu yang dibutuhkan bisa bertahun-tahun lamanya.
Jika hal tersebut berhasil maka kerugian yang diakibatkan kehilangan hasil
panen akan bisa di minimalisir atau bahkan tidak ada kerugian. Dalam pendampingan
tersebut ada beberapa hal yang menurut saya perlu mendapatkan perhatian atau
menjadi inti pokok kehilangan hasi antara lain :
1. Penggunaan alat
panen yang masih tradisional
Tidak dapat dipungkiri bahwa peralatan panen yang masih tradisional
menjadikan kehilangan hasil saat pemanenan semakin banyak. Sebagai contoh
adalah penggunaan perontok padi dengan batu atau kayu menjadikan banyaknya
bulir gabah terbuang karena kerasnya benturan dengan batu dan ketika tidak
bersih maka gabah juga ikut terbuang ke belakang pada saat mengayunkan ikatan
padi ke dua kalinya. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan alas yang cukup
luas untuk lokasi perontokan gabah dan pemberian penutup pada bagian depan dan
samping untuk menghindari gabah yang terbuang jauh karena benturan yang keras.
alas panen yang kurang luas menyebabkan bulir gabah banyak yang hilang |
Untuk mengganti peralatan yang masih tradisional menjadi lebih maju
diperlukan modal yang cukup besar. Untuk alat erek padi dengan pedal saja
harganya sekitar Rp.450.000 sedangkan dengan menggunakan mesin harganya
Rp.1.500.000, untuk petani dengan luasan lahan yang kecil hal tersebut
sangatlah mahal karena keuntungan dari usahataninya juga kecil. Selain itu
pertimbangan yang lain adalah pola tanam yang dilakukan, lahan yang bisa
ditanami padi sampai tiga kali dalam satu tahun tentu lebih membutuhkan
peralatan perontok padi dibandingkan pola tanam padi satu kali dalam satu
tahun.
2. Pemanenan dengan
cara borongan
Untuk menghemat waktu dan tenaga petani biasanya melakukan panen
dengan cara borongan, bahkan jika gabah di beli di lahan, tengkulak akan
melakukan pemanenan dengan rombongan tenaga kerjanya yang jumlahnya sangat
banyak. Dalam hal waktu tentu saja akan lebih cepat bahkan dalam produktivitas
tenaga juga akan semakin meningkat. Tetapi hal tersebut juga memberikan
permasalahan tersendiri, karena yang dikejar adalah jumlah panenan maka kadang
hal-hal yang menyangkut kehilangan hasil di kesampingkan untuk memburu cepat
dalam panen. Semakin cepat maka aka nada waktu untuk melakukan panen di tempat
yang lain yang berimplikasi pada pendapatan tukang borongan tersebut.
Tanpa melakukan panen secara borongan biasanya banyak pencari jerami
khususnya di desa dengan populasi ternak sapi yang tinggi ikut membantu dalam
pemanenan mulai dari pemotongan padi, pengangkutan hingga perontokan. Yang di
bawa pulang adalah jeraminya untuk pakan ternak. Para pencari jerami terkadang
kurang hati-hati dalam pengangutan ke lokasi perontokan hingga perontokan
gabahnya, sehingga banyak bulir gabah yang terjatuh bahkan ada pula yang
jeraminya tidak benar-benar bersih atau masih ada gabah yang tertinggal. Bagi
pencari jerami hal tersebut bukan suatu permasalahan tetapi bagi petani hal
tersbut merupakan suatu permasalahan karena kehilangan hasilnya semakin banyak.
Pencari jerami sering diburu waktu karena antrian dalam proses perontokan,
semakin banyak yang mencari jerami maka tingkat terburu-burunya semakin tinggi
yang bisa menyebabkan tidak bersihnya dalam proses perontokan.
3. Panen tidak
tepat waktu
Pemanenan dilakukan setelah sebagian besar (90-95%) gabah telah
bernas dan menguning. Panen tepat pada waktunya sangat penting, terlalu awal
akan banyak gabah hampa sedang jika panen terlambat mak akan banyak gabah yang
rontok dan gabah patah waktu digiling. Panen yang tidak tepat waktu dapat
meningkatkan kehilangan hasil panen.
Gabah yang hampa menyebabkan penurunan hasil, ketika di jemur maka
akan mendapatkan gabah yang “gabuk” dengan jumlah yang lebih banyak, maka
sangat penting untuk melakukan pemanenan tepat pada waktunnya. Ada sebagian
petani yang masih memanen padinya dalam kondisi masih hijau karena terkendala
pakan terutama yang bertani dan beternak, karena sedikitnya sumber pakan dan
sulitnya mendapatkan sumber pakan yang diakibatkan jumlah populasi ternak yang banyak
tidak diimbangi luasan sumber pakan sehingga sumber cepat habis. Petani
melakukan pemanenan ketika padi masih hijau, selain intuk mencukupi kebutuhan
pakan pemanenan pada padi yang masih hijau dimaksudkan agar ternak lebih lahap
dalam makan. Jerami padi yang masih hijau membuat ternak semakin suka makan,
ini sangat menyenangkan hati petani ketika melihat ternaknya makan, tetapi
dilain sisi karena hal tersebut hasil panennya malah menurun. Perlu dilakukan
suatu pelatihan pengawetan pakan melalui fermentasi maupun dikeringkan dan
pencarian sumber pakan alternatif lainnya sehingga petani tidak terburu-buru
untuk melakukan panen.
Tanam terlambat juga membuat petani memanen padinya lebih awal,
karena takut adanya serangan hama seperti burung emprit. Karena itu penting
untuk melakukan penanaman secara serempak dengan umur bibit yang seragam antara
7-21 HSS (hari setelah sebar) sehingga dapat dicegah panen lebih awal dan
mengurangi kerugian dari serangan hama.Biasanya di desa masyarakat masih
percaya dengan tanggal dan hari baik sehingga terkadang padi yang sudah siap
panen tidak segera di panen sehingga kualitas gabahnya menjadi rendah karena
ketika di giling akan mudah patah berasnya.
Panen padi yang terlambat membuat gabah mudah rontok sehingga bisa
terjadi meningkatnya kehilangan hasil panen karena gabah rontok ketika
pengangkutan maupun penumpukan sementara. Gabah yang terlalu kering membuat
mudah patah ketika di giling, sehingga terjadi penurunan kualitas gabah dan
hasil karena banyak gabah yang menjadi menir dan bekatul.
4. Perontokan gabah
di rumah (hasil panen jatuh saat pengangkutan)
Perontokan gabah di rumah dengan cara membawa padi sedikit demi
sedikit ke rumah kemudian di rontokkan di rumah. Cara ini biasa saya lakukan
karena kebutuhan pakan untuk ternak, jika melakukan perontokan di lahan atau
panen langsung di lahan maka tidak aka nada jerami padi yang tersisa karena
diminta oleh petani atau peternak lain. Cara yang biasa saya lakukan untuk
mencegah kehilangan hasil karena terjatuh saat pengangkutan adalah :
besi untuk memudahkan dalam pengikatan tali |
Siapkan tali
kemudian di ujung tali di beri besi di bentuk huruf “S”
terpal untuk mencegah padi rontok di jalan |
Siapkan terpal
seukuran dengan panjang tali, dan diletakkan di atas tali yang telah ditata
padi ditata |
Padi yang telah
di potong kemudian di tata di atas terpal
di ikat dengan kuat |
Di tata sampai
kira-kira kuat, kemudian di ikat
Di letakkan di
atas sepeda motor dan siap di bawa pulang
gabah yang rontok dan tertampung di terpal |
5. Varietas padi
mudah rontok
Ada beberapa varietas padi yang mudah rontok, yang saya tahu antara
lain mikongga serta varietas lokal seperti unggul dan pandan wangi. Varietas
yang lain juga ada bisa dilihat pada diskripsi varietas sub tingkat kerontokan.
Tingkat kerontokan yang tinggi bisa berkaibat mudah jatuhnya bulir gabah
terutama karena adanya sentuhan, baik itu karena di tumpuk dulu di pematang
atau karena bersentuhan engan tubuh petani dan alat pemotong padi. Varietas
padi yang mudah rontok perlu mendapat perhatian khusus terutama saat
pengangkutan ke lokasi perontokan harus di berikan alas dengan karung ataupun
terpal sehingga jika gabah jatuh akan tertampung di alas tersebut.
6. Penumpukan
sebelum panen
Penumpukan yang terlalu lama membuat gabah lepas dengan sendirinya
sehingga jika tidak segera di erek atau dirontokkan dengan alat perontok padi
maka banyak bulir gabah yang jatuh. Untuk itu penumpukan padi harus dilakukan
setelah di potong dan diberikan alas dibawahnya dengan luasan yang cukup.
Perontokan dilakukan sebaiknya maksimal 1-2 hari setelah panen, dan gabah dari
hasil perontokan harus segera dibersihkan dan dijemur.
7. Rice milling
machine yang berusia tua
Mesin penggiling yang sudah berusia tua yang tidak dirawat dengan
baik akan menyebabkan kehilangan hasil panen, terutama jumlah beras yang jadi
akan berkurang, sebaliknya jumlah bekatul atau menirnya semakin bertambah. Hal
tersebut tentu akan merugikan petani karena yang dijual bukan bekatul dan
menirnya tetapi berasnya, sedangkan bekatul dan menir menjadi milik penggilingannya.
Untuk mengatisipasi hal tersebut perlu melakukan survey tempat-tempat
penggilingan dan membanding-bandingkan hasil gilingnya sehingga bisa memilih
tempat penggilingan yang tepat.
Silahkan memberi komentar yang membangun EmoticonEmoticon